Mohon tunggu...
Rahmat Abadi
Rahmat Abadi Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tentang Seorang Kawan (Bagian 3)

18 November 2016   00:41 Diperbarui: 20 November 2017   23:31 992
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memang, perbedaan ini cukup sumir dan pelik. Menghilangkan kepentingan subjektif dalam pengambilan kebijakan adalah hal yang mustahil. Namun, tidakkah segala kejanggalan bisa diperbincangkan dan di-dialogkan? Sesubjektif apapun kepentingan itu selalu memiliki ruang untuk dibicarakan. Karena hanya malaikatlah yang mampu bekerja semata-mata berdasarkan perintah Tuhannya. Tanpa hawa nafsu dari Tuhan, malaikat tidak pernah memiliki kepentingan pribadi. Sementara itu, manusia adalah tempatnya salah dan khilaf, tempat bersarangnya hasrat, nafsu dan kepentingan (kekuasaan).

Saya yakin, sebagai seorang teman dan sesama insan media, semuanya tidak lepas dari kepentingan. Bahkan, kepentingan Hilman akan sangat jelas terlihat dengan posisinya sebagai Ketua Press Room, dibanding para koleganya sesama pengurus yang setiap saat justru bisa “bersembunyi” di balik kepentingan.

Apapun itu, bagi saya, tidak pernah menjadi masalah serius, sejauh tugas dan fungsi ke-PressRoom-an dijalankan dengan baik. Toh, semua mendapat porsi yang sama untuk menjalankan kepentingannya. Hanya saja, mengumbar isu tentang mereka yang menjalankan kepentingan tanpa disertai penjelasan (tabayun) akan menjadi gosip yang menyakitkan. 

Lebih memprihatinkan, saat isu tersebut dihembuskan oleh mereka yang justru sedang berada dalam struktur kekuasaan itu sendiri. Berwajah lugu dan bermuka manis seakan tanpa ambisi, memainkan peran sebagai korban (playing victim) yang terzalimi oleh situasi. Di saat yang sama menggalang kekuatan untuk meruntuhkan nama baik hingga kudeta, meski tak kunjung terealisasi.

Kinerja Press Room menjadi tidak maksimal akibat rongrongan dari dalam. Kekuasaan telah membutakan mata. Kawan seperjuangan, teman seperaduan, sahabat sepermainan menjadi sirna oleh kepentingan yang tidak terkelola dengan baik. Hasrat yang lazim dan tidak untuk diharamkan menjadi momok yang menakutkan.

Betapa tidak, Hilman telah menjadi objek pergunjingan se-jagad Press Room. Membicarakan Hilman adalah membicarakan tentang perilaku seorang pekerja media dari “kelas teri” kontributor. Obrolan tentang Hilman adalah obrolan tentang manusia licik yang memanfaatkan posisi demi keuntungan pribadi. 

Tidak terlintas sedikitpun tentang Hilman yang memperoleh dukungan mayoritas 2 tahun silam. Tidak terbetik sedikitpun tentang Hilman yang akrab dengan sulitnya hidup yang membuatnya begitu menjunjung tinggi dan mengapresiasi kerja-kerja para wartawan dari media ternama, kurang ber-nama, hingga media-media lokal yang seringkali dipandang “tidak punya nama”.

Baginya, mereka adalah sesama pekerja, sesama manusia yang memiliki tanggung jawab bagi keluarga. Bagi Hilman mereka adalah manusia yang layak dipandang setara dengan manusia lainnya. Mereka adalah wartawan yang telah mendedikasikan hidupnya untuk keluarga dan publik pada umumnya, menyampaikan kabar dan berita, meski jarang terbaca. Dan, yang pasti, mereka adalah pekerja yang bermukim di lingkungan DPR, MPR dan DPD yang setiap saat menyingsingkan lengang baju, merespons berbagai isu, menjalankan tugas kewartawanannya dengan penuh kesungguhan.

Silakan para pemilik kecurigaan itu bertanya pada diri sendiri. Dalam setiap even kegiatan Press Room, baik itu diskusi maupun Konferensi Pers, kalangan wartawan seperti apa yang begitu giat dan rajin melakukan peliputan? Media-media apa saja yang tidak pernah memilah-milah isu? Wartawan-wartawan dari mana saja yang mengikuti setiap kegiatan dengan “khusyuk” tanpa sedikitpun meninggalkan tempat duduk hanya untuk mendengarkan dengan seksama setiap detail ucapan dari Nara Sumber hingga akhir acara?

(Baca cerita sebelumnya di bagian dua)

Silakan para pemilik kecurigaan itu bertanya pada diri sendiri. Bagaimana mendefinisikan wartawan yang hanya datang sesekali melakukan peliputan, kasak-kusuk ke sana kemari, datang dan pergi sesuka hati? Tertidur di pagi hari, terpendam di siang hari, “kongkow” di sore hari, sesekali beredar di Press Room menjelang malam, lalu tidak berjejak selepas malam?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun