Mohon tunggu...
Rahmat Abadi
Rahmat Abadi Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tentang Seorang Kawan (Bagian 2)

12 November 2016   00:09 Diperbarui: 20 November 2017   23:18 1335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hilman Matauch (Foto: Tribunnews.com)

Saya melanjutkan tulisan “Tentang Seorang Kawan”, Maklum, sebagai pewarta, tugas kantor cukup menguras waktu. Apalagi menjelang ‘Aksi Damai’ yang digalang beberapa Ormas Keagamaan, kantor turut menyibukkan diri menggalang aksi ‘suruh sana suruh sini’. Tidak malah sih, namanya juga penyampai informasi. Sumber akurat harus diutamakan, ketimbang gosip, catat ya.. ketimbang gosip!.

(Baca bagian sebelumnya di sini)

Politik memang telah menjadi stigma di tengah cibiran publik yang tidak pernah usai menggema. Perilaku politik telah menjadi perilaku negatif sejak dalam pikiran, sebelum ia dipraktikkan. Politisi pun telah menjadi profesi yang “menjijikkan” bagi sebagian orang. Politik tidak lagi disadari sebagai sebuah kajian dengan sekumpulan teori yang mengitarinya. 

Politisi tidak lagi dipahami sebagai mereka yang lahir dari masyarakat yang menempati tempat-tempat strategis di setiap profesi. Perilaku politis telah menjadi arena “politis”. Aneh tapi nyata. Rancu serancu-rancunya. Namun demikianlah sumbu pendek akal pikir sebagian orang yang tidak lagi mengindahkan ide dan gagasan, melebihi prasangka dan persepsi.

Kembali ke “Tentang Seorang Kawan”. Hilman yang terpilih dengan suara mayoritas, mau tak mau harus menjalankan roda paguyuban dengan jalan yang selalu dilihat 'politis', karena dimasa kepemimpinannya dapat dipastikan (terbukti sekarang) tidak berjalan mulus. Ancaman dan hambatan datang silih-berganti. Seakan hendak merongrong kekuasaan, mendegradasi hingga menjatuhkannya di tengah jalan.

Sebegitu serius? Suasana parlemen yang hingar-bingar dengan aksi-aksi dan manuver, menular dengan cepat. Lebih geliat, garang bahkan seringkali berani vulgar. Tidak ada satu ruang pun tanpa dimaknai sebagai ajang politis. Tak ada satu kegiatan pun tanpa dipersepsi sebagai manuver politik. Dalam masa yang seharusnya masih haru-biru bulan madu Hilman dan Rakyat Press Room, jauh sebelum masa kepengurusan ini akan berakhir, ketidakpuasan ternyata sudah berurat akar.

Unik, ketidakpuasan muncul di awal. Beberapa pewarta menceritakan Kepada saya tentang suasana yang sangat sulit di awal-awal masa kepemimpinannya. Niat untuk pertama kali menyatukan kekuatan dan kebersamaan yang berserak pasca pemilihan maupun warisan masa lalu, mengalami hambatan. Aura perbedaan dalam dinginnya Kopo ternyata belum cukup menghangat. Energi terkuras hanya untuk mendamaikan persepsi yang belum juga tuntas.

Memang sulit, gumam beberapa teman sejawat Hilman. Alam bawah sadar segelintir pejabat dan anggota Press Room, telah membentuk paradigma tentang “Hilman dan seluruh bawaan yang melekat padanya”. Mungkin perawakan yang tambun dan gayanya tersebut, sudah cukup membawa beban bagi mereka.

Apapun itu, Hilman tetap konsisten melanjutkan misi, meski “rada-rada” impossible. Watak penerimaan yang belum sepenuhnya terbangun, membangun perbedaan sedikit demi sedikit. Yang tersisa hanya kecurigaan. Yang terekam hanya kecemburuan. Pola kerja organisasi tidak berjalan sebagaimana mestinya. 

Segelintir sahabat yang ditolak ‘rakyat’ namun dibela mati-matian saat diperkenalkan olehnya sebagai ‘pejabat Press Room’ 2 tahun lalu, mulai berani menampakkan wajah asli mereka. acuh dan abai pada kepentingan untuk membesarkan Press Room. Semua tampil sendiri-sendiri (one man show) membesarkan pribadi masing-masing.

Ironi di rimba nyata. Tabiat organisasi dienyahkan. Kerja kolektif terkikis dan terganti oleh kerja-kerja pribadi, kelompok dan golongan. Hilman terperangkap dalam sebuah lakon misterius dari mereka yang sejatinya “nyata” di hadapannya. segelintir “pembantu” ternyata sosok-sosok bertopeng. Bagai bunglon, gemerlap cahaya malam membuat mereka sulit untuk dikenali. Jangankan untuk mencari tahu seperti apa jati diri mereka, warna kulit dan pakainnya pun sulit untuk didefenisikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun