Mohon tunggu...
Rahmat Abadi
Rahmat Abadi Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tentang Seorang Kawan (Bagian 3)

18 November 2016   00:41 Diperbarui: 20 November 2017   23:31 992
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hilman Matauch (Foto: Tribunnews.com)

Lebih dari 10 hari, jemari saya terhenti mengetuk abjad demi abjad untuk kembali melanjutkan kisah Tentang Seorang Kawan. Maklum, pikiran saya sedikit terpecah pada banyak hal. Yang pasti, pekikan “penistaan” itu lumayan menguras tenaga dan pikiran. Setelah “kantor” mengeluarkan perintah “siaga satu” ala “juru tulis” mengawal pergerakan isu, jelang “Gelar Perkara” pun tidak luput perhatian.

Akh, sudah menjadi tugas, ya harus dilalui dengan penuh tanggung jawab. Tanpa pretensi apa-apa, sebagai pewarta dan penyampai berita toh, kami sejatinya memang harus berdiri di atas fakta, bukan “cerita” belaka. Sebab, akibatnya pun bisa fatal. Mengumbar opini berdasarkan sakwa sangka, dapat mencederai banyak orang. Di tambah, masyarakat kita pun belum sepenuhnya mampu memilah antara realita dengan cerita, antara kenyataan dengan sangkaan.

Oh iya, ada hal lain yang cukup menggelitik. Saat tulisan ini saya tuangkan, tiba-tiba saya menerima pesan dari seseorang yang berisi link "Tentang Seorang Kawan Bagian 3" yang ditulisan oleh seorang yang bernama Ramat Abadi. Sekilas mirip, hanya berkurang huruf “h” (Rahmat Abadi). Selain menggelitik, cukup menggelikan. Bermaksud melanjutkan tulisan sebelumnya, namun, lagi-lagi, “menyerang” tanpa argumentasi yang utuh hingga mengarah ke fitnah.

Baiklah, kita lupakan ke-iseng-an Si Ramat Abadi.

(Baca cerita sebelumnya di bagian satu)

Setelah penetapan “tersangka”, saya kembali melanjutkan kisah. Tentang Seorang Kawan yang—semoga--tidak berujung “penistaan”.

Suasana Press Room memang tidak lagi patut dipandang sederhana. Bukan sekedar paguyuban semata tempat berhimpun para insan media dari berbagai kantor berita. Paguyuban ini begitu “empuk” untuk dikuasai. Organisasi ini begitu “menjanjikan” prestise bagi siapapun yang memegang pucuk kepemimpinan. Karena itu, saya tidak pernah meragukan jika ambisi menjadi hal yang lumrah. Posisi menjadi hal yang menentukan. Mereka yang menduduki jabatan kepengurusan Press Room sedikit banyaknya memiliki persinggungan langsung dengan para Anggota DPR, MPR dan DPD.

Persinggungan inilah yang salah satunya dipandang memiliki nilai “lebih” bagi sebagian kalangan insan media itu sendiri. Dari persinggungan, muncul kedekatan. Dari kedekatan, muncul “keuntungan”, baik bagi pribadi, maupun institusi tempat mereka bekerja, tempat mereka mencari nafkah.

Sejak awal, Hilman pasti menyadari kenyataan tersebut. Akan ada suatu masa, tidak lama setelah ia terpilih menjadi Ketua Press Room, huru-hara cerita akan merebak. Tentu, tidak lepas dari kecurigaan tentang persinggung tadi. Hari-hari kepengurusan Press Room akan dihuni oleh segudang gosip tentang siapa “memanfaatkan” siapa; tentang siapa yang mendapatkan “apa”. 

Sadar akan hal itu, roda organisasi dimapankan dengan baik. Hilman tidak menetapkan diri sebagai ketua tanpa struktur di bawahnya yang memiliki fungsi dan tugasnya masing-masing. Gairah dan tipikal organisasi modern sedikit dijalankan, meski memang tidak ketat dan rigid. Paling tidak, Hilman masih berpikir tentang pentingnya pembagian kerja, agar semua urusan tidak dimonopoli sendiri, yang ujungnya memunculkan stigma buruk sebagaimana adagium klasik: “kekuasaan itu cenderung korup. Kekuasaan yang mutlak pasti koruptif”.

Namun, sejauh niat baik dimunculkan, sejauh itu pula ambisi prematur tidak cukup mampu menerima kenyataan yang seharusnya ada di benak mereka. Hilman sudah terlanjur dicap “bermain” dengan kekuasaannya. Mereka bahkan tidak lagi membedakan antara Hilman sebagai ketua sekaligus pengurus Press Room dengan Hilman yang dipikiran sempit mereka sebagai orang yang “melacurkan” kekuasaan demi kepentingan pribadi dan kelompok.

Memang, perbedaan ini cukup sumir dan pelik. Menghilangkan kepentingan subjektif dalam pengambilan kebijakan adalah hal yang mustahil. Namun, tidakkah segala kejanggalan bisa diperbincangkan dan di-dialogkan? Sesubjektif apapun kepentingan itu selalu memiliki ruang untuk dibicarakan. Karena hanya malaikatlah yang mampu bekerja semata-mata berdasarkan perintah Tuhannya. Tanpa hawa nafsu dari Tuhan, malaikat tidak pernah memiliki kepentingan pribadi. Sementara itu, manusia adalah tempatnya salah dan khilaf, tempat bersarangnya hasrat, nafsu dan kepentingan (kekuasaan).

Saya yakin, sebagai seorang teman dan sesama insan media, semuanya tidak lepas dari kepentingan. Bahkan, kepentingan Hilman akan sangat jelas terlihat dengan posisinya sebagai Ketua Press Room, dibanding para koleganya sesama pengurus yang setiap saat justru bisa “bersembunyi” di balik kepentingan.

Apapun itu, bagi saya, tidak pernah menjadi masalah serius, sejauh tugas dan fungsi ke-PressRoom-an dijalankan dengan baik. Toh, semua mendapat porsi yang sama untuk menjalankan kepentingannya. Hanya saja, mengumbar isu tentang mereka yang menjalankan kepentingan tanpa disertai penjelasan (tabayun) akan menjadi gosip yang menyakitkan. 

Lebih memprihatinkan, saat isu tersebut dihembuskan oleh mereka yang justru sedang berada dalam struktur kekuasaan itu sendiri. Berwajah lugu dan bermuka manis seakan tanpa ambisi, memainkan peran sebagai korban (playing victim) yang terzalimi oleh situasi. Di saat yang sama menggalang kekuatan untuk meruntuhkan nama baik hingga kudeta, meski tak kunjung terealisasi.

Kinerja Press Room menjadi tidak maksimal akibat rongrongan dari dalam. Kekuasaan telah membutakan mata. Kawan seperjuangan, teman seperaduan, sahabat sepermainan menjadi sirna oleh kepentingan yang tidak terkelola dengan baik. Hasrat yang lazim dan tidak untuk diharamkan menjadi momok yang menakutkan.

Betapa tidak, Hilman telah menjadi objek pergunjingan se-jagad Press Room. Membicarakan Hilman adalah membicarakan tentang perilaku seorang pekerja media dari “kelas teri” kontributor. Obrolan tentang Hilman adalah obrolan tentang manusia licik yang memanfaatkan posisi demi keuntungan pribadi. 

Tidak terlintas sedikitpun tentang Hilman yang memperoleh dukungan mayoritas 2 tahun silam. Tidak terbetik sedikitpun tentang Hilman yang akrab dengan sulitnya hidup yang membuatnya begitu menjunjung tinggi dan mengapresiasi kerja-kerja para wartawan dari media ternama, kurang ber-nama, hingga media-media lokal yang seringkali dipandang “tidak punya nama”.

Baginya, mereka adalah sesama pekerja, sesama manusia yang memiliki tanggung jawab bagi keluarga. Bagi Hilman mereka adalah manusia yang layak dipandang setara dengan manusia lainnya. Mereka adalah wartawan yang telah mendedikasikan hidupnya untuk keluarga dan publik pada umumnya, menyampaikan kabar dan berita, meski jarang terbaca. Dan, yang pasti, mereka adalah pekerja yang bermukim di lingkungan DPR, MPR dan DPD yang setiap saat menyingsingkan lengang baju, merespons berbagai isu, menjalankan tugas kewartawanannya dengan penuh kesungguhan.

Silakan para pemilik kecurigaan itu bertanya pada diri sendiri. Dalam setiap even kegiatan Press Room, baik itu diskusi maupun Konferensi Pers, kalangan wartawan seperti apa yang begitu giat dan rajin melakukan peliputan? Media-media apa saja yang tidak pernah memilah-milah isu? Wartawan-wartawan dari mana saja yang mengikuti setiap kegiatan dengan “khusyuk” tanpa sedikitpun meninggalkan tempat duduk hanya untuk mendengarkan dengan seksama setiap detail ucapan dari Nara Sumber hingga akhir acara?

(Baca cerita sebelumnya di bagian dua)

Silakan para pemilik kecurigaan itu bertanya pada diri sendiri. Bagaimana mendefinisikan wartawan yang hanya datang sesekali melakukan peliputan, kasak-kusuk ke sana kemari, datang dan pergi sesuka hati? Tertidur di pagi hari, terpendam di siang hari, “kongkow” di sore hari, sesekali beredar di Press Room menjelang malam, lalu tidak berjejak selepas malam?

Memang ironis. Sesekali mata saya mengusap dada saat menumpahkan tulisan ini. Ini bukan soal siapa yang akan dan layak memimpin Press Room di masa yang akan datang. Ini soal kemanusiaan yang sudah tidak lagi mendapat tempat dalam sanubari. Ini soal perkawanan yang begitu saja sirna hanya karena perbedaan persepsi yang sejatinya bisa dibicarakan dan didialogkan.

Jauh lebih penting, ini soal penghargaan terhadap sesama manusia yang seringkali sirna akibat nafsu dan ambisi. Karena itu, akal sehat saya tidak bisa menerima dengan tulus saat segala persoalan yang menyangkut paguyuban, menyangkut institusi dan menyangkut organisasi, dimaknai sebagai persoalan pribadi. 

Hilman yang begitu memberi harapan di awal masa kepengurusan harus “dinistakan” dengan berbagai cara. Cara-cara yang sepatutnya tidak lazim, karena perbedaan persepsi tidak diselesaikan dengan argumen, melainkan sentimen. Hingga cara-cara yang licik dengan mengutak-atik keabsahan dan legalitas Sang Kontributor di tempat ia bekerja. Mempersoalkan “surat tugas” dengan mengaduk-aduk dapur kantor orang lain.

Come on, guys! Apakah tidak ada cara yang lebih bijak dan elegan dalam menjalankan sebuah kontestasi? Apakah tidak ada cara yang lebih arif dan bijaksana untuk menggalang kekuatan dengan ide dan gagasan, ketimbang menyentuh persoalan pribadi. Sadarlah, kekuasaan Press Room itu cuma 2 tahun, yang tidak bisa dibandingkan dengan eksistensi seseorang di sebuah institusi dalam rangka menjalani hidup seperti manusia pada umumnya. 

Tidakkah mata hati Anda terketuk hanya untuk melihat sosok Hilman yang sebenarnya? Sebagai orang tua, sebagai tulang punggung keluarga yang menjalani hidup sama dengan para insan media pada di Press Room pada umumnya? Sebagai ayah yang sehari-harinya mempertahankan hidup dengan mengais berita dengan caranya sendiri, demi menjamin keberlangsungan kehidupan istri dan ketiga anaknya?

Hmmm... Saya tidak bermaksud meng-iba pada mereka yang terlanjur berhati dan berjiwa kerdil dalam memandang sebuah episode dalam perjalanan hidup. Saya hanya terpanggil untuk menggugah paradigma kita tentang bagaimana memandang sebuah upaya meraih kepemimpinan dengan cara yang baik, argumentatif, menjajakan ide dan gagasan, mengusung perubahan demi masa depan paguyuban yang lebih baik. 

Karena saya yakin, sebagaimana seharusnya mereka yakin, bahwa sebagai teman, sebagai kawan dan sebagai sahabat, andaipun Hilman kembali maju dalam pemilihan Ketua Press Room, ia sudah bersiap menang dan kalah.

Tidak usai saya bergumam, persepsi negatif tanpa penjelasan telah mengubur kebersamaan yang seharusnya terjalin dalam organisasi. Tidak ada yang perlu dicurigai sejauh setiap kita mampu memahami satu sama lain. 

Sehingga tidak ada luka yang bersarang dalam benak yang tidak memperoleh jawaban. Sehingga tidak ada fitnah yang menyebar tanpa klarifikasi. Agar kebersamaan sebagai insan media tetap terjaga. Kebersamaan yang tidak dilandasi oleh pragmatisme yang mengkotak-kotakkan dan memandang tinggi dan rendah satu sama lain.

Saya akhiri kisah “Tentang Seorang Kawan”. Mencari musuh memang tidak sesulit mencari kawan. Mencari perbedaan memang tidak sesulit mencari persamaan. Sebentar lagi, Press Room akan memilih kepengurusan baru. Pengurus bisa berganti. Pemimpin bisa beralih. Namun, siapapun yang terpilih, perkawanan adalah sesuatu yang seharusnya abadi.

--Tidak lagi Bersambung--

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun