Mohon tunggu...
Rama Yuda Irawan
Rama Yuda Irawan Mohon Tunggu... Penulis Lepas

Verba volant, scripta manent

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Jakarta, tengah malam

8 Juni 2025   06:56 Diperbarui: 8 Juni 2025   04:58 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Tidak ada waktu yang tepat untuk merasakan luka.
 Kita berjalan dalam dunia yang bukan menganggap kerentanan sebagai barang mawah,
 atau bahkan sebuah kelemahan yang harus disembunyikan. Karena air mata bukanlah bahasa yang diterima di ruangnya, dan setiap rintihan dianggap sebagai tanda gagal.

Di tengah arus kapitalisme; yang menuntut dan mengedepankan produktivitas,
 dunia mengukir peran secara spesifik.
terutama untuk mereka yang dididik "jadi kuat".
 Di sana, emosi yang kompleks disamakan dengan tanda kelemahan,

Orang pintar menyebutnya "Toxic Masculinity",
 sebuah konstruksi sosial yang menjerat;
menahan laki-laki dalam kerangka ketegaran absolut,
 menafikan hak untuk bertanya, untuk rapuh, dan untuk mengeluh.

Sedangkan Judith Butler berbicara tentang performativitas gender.
bahwa maskulinitas bukan keadaan alami,
 melainkan serangkaian tindakan yang terus diulang
 untuk memenuhi ekspektasi sosial secara berabad-abad lamanya.

Tidak ada ruang untuk kegagalan,
 karena kegagalan adalah ancaman terhadap identitas,
 dan identitas itu sendiri dipelihara oleh norma-norma yang terlanjur beranak pinak.

Foucault mengingatkanku,
 bahwa kekuasaan itu ada dalam detail kecil,
 seperti tatapan, kata, hingga kebiasaan yang diulang.
 Ketika "tidak ada waktu mengeluh" menjadi aturan tak tertulis,
 itu adalah bentuk kontrol yang paling halus di dunia.

Ada teori cognitive appraisal---
 yang menyebutkan bahwa cara kita menilai stres
 akan menentukan bagaimana kita bereaksi.
 Jika lingkungan kita menolak ekspresi emosi,
 maka stres itu akan terpendam,
 menciptakan luka yang lama-kelamaan menjadi bagian dari diri sendiri.

Aku lihat dalam budaya popular; dari film hingga music.
karakter laki-laki sering dipuja sebagai pahlawan,
 menangis hanya dalam sunyi atau bukan sama sekali.
 Padahal, seperti yang diungkap Brene Brown,
 keberanian sejati adalah kemampuan untuk terbuka,
 untuk merasakan dan mengekspresikan rasa sakit.

Bayangkan mereka yang menanggung semua itu---
 jam kerja yang melelahkan, harapan keluarga,
 beban sosial,
 atau rangkaian pertanyaan bodoh saat mengunjungi rumah paman.

Maka, bukankah sudah saatnya kita mengganti lagu pengantar malam ini?
 Daripada suara laki-laki yang menahan tangis,
 mari kita dengar "Motion Sickness" dari Phoebe Bridgers---
 yang mengajarkan bahwa rasa sakit itu nyata,
 dan tidak perlu disembunyikan.

Karena dunia yang sehat bukanlah dunia yang sempurna,
 melainkan dunia yang memberi ruang untuk ketidaksempurnaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun