Ketika aku sudah berkerja di tahun 2015 - 2016, hidup kami diguncang ujian besar. Kakakku jatuh sakit parah, tumor otak ganas. Awalnya hanya sakit biasa, tapi lama-lama kondisinya makin memburuk. Dokter bilang, perawatannya akan memakan waktu lama dan biaya besar.
Tak lama kemudian, Bapak juga divonis mengidap penyakit serius, TBC. Aku seperti kehilangan detak jantung mendengar kabar itu. Dua orang yang aku cintai sakit berat dalam waktu hampir bersamaan. Seluruh keluarga akhirnya harus pindah ke rumah Ku di Cikeas.
Rumah sakit dan terapi kesehatan tradisional menjadi rumah kedua kami. Biaya pengobatan mengalir seperti air yang tak ada habisnya.Â
Tabungan Ku habis, Aku pun sudah berhutang ratusan juta menggadaikan SK PNS, dan akhirnya emas simpanan Ku dan Ibu satu per satu berpindah tangan.Â
Gelang dan kalung yang dipakai saat acara keluarga, sebagian digadaikan. Tersisa cincin pernikahan Bapak dan gelang 50 gr, itu senjata terakhir Kami.
Ibu lebih memilih menggadaikan emas daripada menjual rumah. Baginya rumah merupakan jalan terakhir ketika Kami sudah tidak punya apa-apa.
Kakak diputuskan harus MRI, bila mengikuti alur BPJS harus menunggu 3 bulan, kebutuhan diagnosa meminta segera dan terpaksa kami harus harus membiayai jalur pribadi. Saat tahun 2015, pelayanan BPJS belum seperti sekarang.
Aku masih ingat, suatu sore yang hujan, Ibu bercerita kepada ponakannya untuk berencana menggadaikan ke Pegadaian gelang terakhirnya seberat 50 gr karena kebutuhan biaya medis.
Gelang itu sempat Ibu genggam erat sebelum dititipkan, seolah mengucapkan "masih ada jalan". Sepupu Ku Ikhwan dan keluarga besarnya memberikan sumbangan biaya pengobatan.
Meski akhirnya Alloh SWT memanggil Bapak lebih dulu, dan lima bulan kemudian Kakak menyusul, aku tidak pernah lupa bahwa emas telah menjadi penolong terakhir yang kami punya di masa paling gelap itu.