Mohon tunggu...
Rakha N.P. Dhaniwijaya
Rakha N.P. Dhaniwijaya Mohon Tunggu... Penulis - Homo sapien, resident of Earth

calon pengabdi, pecandu belajar dan mengajar, literature enthusiast.......a happy man for sure!

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Kapan "Setan Merah" Berjaya Kembali di "Karpet Merah"?

27 Maret 2020   14:43 Diperbarui: 28 Maret 2020   16:10 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para pemain Manchester United merayakan gol dalam laga pekan perdana Liga Inggris kontra Chelsea di Stadion Old Trafford, 11 Agustus 2019.| Sumber: Twitter Victor Lindelof @vlindelof

Admit it. Hampir semua orang pasti tahu dengan yang namanya “Manchester United”. Pengaruh klub sepak bola asal Inggris ini sudah merambah hampir di seluruh penjuru dunia. 

Pasti ada saja orang-orang terdekat kita ataupun mungkin kenalan baru kita, yang faham kalau MU itu “pokoknya klub bola yang besar”, atau mungkin juga pendukung garis keras klub tersebut. 

Banyak orang yang mungkin tidak mengikuti tren sepak bola, tetapi begitu mendengar kata “sepak bola”, yang terbayang adalah Manchester United, selain juga klub besar lainnya macam Barcelona, Real Madrid, dan para jawara Eropa lainnya. 

MU seakan-akan sudah menorehkan namanya di buku legenda sepak bola dunia, sehingga semua orang , khususnya pecinta sepak bola, teringat padanya.

Bahkan saya yang merupakan pengamat sepak bola yang “biasa saja”, punya banyak sekali kolega yang merupakan fans “The Red Devils”. Mulai dari paman, teman SD, teman SMP, teman SMA, kenalan ketika ikut simposium di Malaysia, dan lainnya menyatakan diri sebagai pendukung MU. 

Jika Anda memposisikan diri Anda sebagai pecinta sepak bola “casual”, tentu akan sangat sulit untuk mengatakan bahwa Manchester United adalah klub ampas yang tidak punya apa-apa. 

Ketika Anda buat pernyataan tersebut, tentu menjadi hal yang wajar kalau Anda malah dirundung oleh para pecinta sepak bola, terutama para Manchunian (yang jumlahnya sangat besar pastinya).

Faktanya, mereka tidak salah. Manchester United adalah “something, if not anything”. Stadion berkapasitas 74.879 orang, sejarah yang mengagumkan, dan pemain yang luar biasa baik di tingkat klub maupun internasional (Paul Scholes, David Beckham, Cristiano Ronaldo, Ryan Giggs, Wayne Rooney, dan lainnya yang mungkin kalau disebutkan bisa menjadi satu artikel sendiri) tentu menjadi kebanggaan. 

Jangan lupakan juga rekor 20 gelar Liga Inggris (mulai dari era First Division sampai Premier league) yang tercatat mulai dari 1907-08 sampai gelar liga terakhir tahun 2012-13, 12 Piala FA, 5 Piala EFL, 21 FA Community Shield, dan 3 trofi Liga Champions dan 3 gelar Eropa lainnya. 

Yang terhebat mungkin ketika MU menjadi “jawara dunia” setelah memenangkan Piala Dunia Antarklub 12 tahun silam. 

Faktanya, Manchester United mencapai continental treble sekali dan menjadi salah satu dari 5 klub peraih European treble (menjadi juara dari tiga kompetisi utama Eropa sepanjang sejarah UEFA).

Akan menjadi sangat berlebihan apabila saya menyatakan klub ini “berjaya” tanpa diiringi “pada eranya”. Pernyataan tersebut juga tidak salah. Kita tidak bisa memungkiri fakta bahwa prestasi Manchester United seakan-akan sudah mandek dan menurun dari tahun ke tahun. 

Klub ini terakhir juara 7 tahun silam. Di 7 tahun ini, kita bisa lihat trennya. 

Awal awal masih bermain di Liga Champions, lalu menurun sampai Europa League (pada akhirnya mencapai juara UEL tahun 2016-17). Namun, bukan berarti menjadi ampas. 

Buktinya, di era modern yang banyak persaingan ini, MU masih bisa setidaknya bersaing di kancah Eropa atau at least di Inggris. Tetapi cukup disayangkan karena dominasi MU di persepakbolaan Inggris maupun Eropa sudah tidak seperti dahulu.

Saya adalah pecinta sepak bola yang mempercayai bahwa “semua ada masanya dan ada eranya”. Tidak ada satu klub yang mampu menjadi jawara terus menerus. Jikalau ada, tentunya tidak ada yang suka kalau monopoli gelar terus menerus terjadi. 

Belum lagi, sepak bola terus berkembang dari waktu ke waktu. Evolusi taktik, strategi, manajemen klub, dan lainnya terus berlangsung. 

Klub-klub yang masih mempertahankan gaya lama dalam bermain ataupun pengelolaan klub tentu akan tergilas dengan kerasnya kompetisi sepak bola modern ini, dimana banyak klub semakin kompetitif dan “cukup finansial” untuk bersaing di perebutan juara kompetisi.

Banyak sekali klub yang mungkin “harus stop berjaya dahulu”. Para pemerhati sepak bola ataupun para “sejarawan” sepak bola tentu bisa membandingkan kondisi AC Milan, Inter Milan, Ajax, bahkan Benfica di era ini dengan di era kejayaannya. 

Saya pikir, inilah yang terjadi pada “The Red Devils”. Mereka sudah berjaya di masa lalu, dan di masa ini tampaknya mereka harus bersabar. Bukan berarti mereka tidak bisa menjadi jawara lagi, karena seperti yang saya yakini juga, bahwa “bola itu bundar”.

Aplikasi “semua ada masanya dan ada eranya” ini tidak hanya berlaku di sepak bola. Di olahraga lainnya, kita ambil contoh kompetisi NBA. 

Salah satu teman saya yang kebetulan hobi basket dan mengikuti perkembangan NBA, juga menyatakan bahwa juara itu ada masanya. Mulai dari Boston Celtics, LA Lakers, Chicago Bulls, Golden State Warriors, mereka semua punya era. Mungkin Toronto Raptors akan punya era juga di sejarah gelaran NBA.

Hal yang perlu diperhatikan adalah di kompetisi manapun, semua bisa terjadi. Sebuah klub yang belum punya era kejayaan, mungkin bisa membuat eranya sendiri ataupun hanya menjadi one season wonder. 

Berlaku pula di klub yang sudah punya catatan era kejayaan macam MU bisa saja mencatat era kejayaan yang baru, ataupun harus kembali bersabar dan menunggu.

Evolusi sepak bola adalah hal yang tidak bisa dihentikan oleh klub manapun sekarang. Namun, satu hal yang tentunya akan menjadi core value dari suatu klub kapanpun adalah nilai dari klub tersebut, yang mencakup tujuan, arah, dan semangat dari suatu klub. 

Barca punya slogan “mes que un club”, Bayern Munchen punya “mia san mia”, dan Juventus punya “fino alla fine”. Lalu, apa nilai yang dimiliki “The Red Devils”?

Nilai dari Manchester United adalah “Youth, Courage, Greatness” yang artinya adalah “muda, keberanian, kebesaran”. Tanpa disadari, nilai ini tercantum dalam jersey MU musim 2014-15. 

Semangat bahwa dengan keberanian dan penyegaran di skuad, mereka pada akhirnya akan mencapai kebesaran (menang liga, menang piala, menang segalanya).

Para Manchunian sejati tentunya sadar akan hal ini. Itulah kenapa mereka bertahan dan tetap mencintai klub. Mereka sadar akan nilai-nilai klub, yang meyakinkan bahwa semangat pemuda dan keberanian akan membawa mereka menuju kejayaan. 

Mereka yakin bahwa Setan Merah, bagaimanapun juga past akan berjaya kembali di karpet merah persepakbolaan di tingkat negara, benua, bahkan dunia asalkan dengan skuad yang punya keberanian serta memiliki semangat juang yang tinggi bak pemuda.

Menurut saya, pernyataan bahwa “buat apa mendukung suatu tim bola kalau kalahan terus,” adalah suatu pernyataan yang sangat tidak masuk akal. Mencintai suatu klub, berarti memahami nilai-nilai dan semangat juang klub tersebut. 

Anda bisa katakan hal tersebut sebagai “cinta buta”, tapi saya sendiri mendefinisikan hal tersebut sebagai “cinta luar biasa”.

So, kapan “Setan Merah” berjaya kembali di “karpet merah”? We never know. Yang jelas, bola itu bundar dan para Manchunian, well, mereka harus bersabar. Semua akan indah pada eranya.

Glory Glory Man United!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun