Di suatu sore menjelang magrib, aku pergi bersama teman buat main ke salah satu mal di kawasan Cijantung, Jakarta Timur. Biasalah, melepas lelah setelah seharian kerja. Tujuan kami berburu diskon merchant food & beverage sekalian makan malam. Karena rutenya pas dan turun persis di depan mal, kami pilih naik JakLingko.
Ya, bagiku ini pengalaman naik JakLingko untuk pertama kalinya. Masih agak bingung soal alur tap-in, posisi mesin, dan ritme penumpang.Â
Saat aku ragu-ragu di kursi belakang sebelah kanan, seorang bapak yang duduk dekat pintu langsung ulurkan tangan. "Sini, saya bantu", katanya. Bip. Selesai. Aku cuma sempat bilang terima kasih, lalu duduk. Tapi sepanjang perjalanan, aku kepikiran: kok bisa ya, gestur sekecil itu bikin hati adem?
Besok paginya, aku naik JakLingko lagi. Tujuanku kali ini mencari coffee shop yang bisa aku gunakan untuk zoom meeting bersama klien. Kali ini aku duduk di kursi dekat mesin tap. Bukan karena niat mulia, tapi biar gampang keluar saja.Â
Tapi entah kenapa, ada dorongan kecil dalam hati: kalau ada yang bingung, aku pengin bantu. Mungkin efek dari semalam. Atau mungkin refleks yang tertular. Atau mungkin,....
Penumpang naik satu per satu, duduk dulu, lalu mulai tap. Seorang ibu duduk di seberangku, memegang kartu tapi tampak ragu. Ia menoleh ke arah mesin, lalu ke aku. Aku ulurkan tangan, bantu tap. Bip. Selesai.Â
Ibu itu tersenyum, lalu kembali menatap jendela. Tidak ada ucapan terima kasih yang dramatis. Tidak ada pelukan. Tapi ada sesuatu yang terasa cukup.
Di perhentian berikutnya, ada seorang bapak dengan backpack kecil dan beberapa anak sekolah. Mereka semua menyerahkan kartu ke aku, seolah aku memang petugas resmi.
Yang paling berkesan? Seorang kakek yang naik di tiga perhentian berikutnya. Ia duduk pelan-pelan, pegang kartu dengan tangan gemetar. Aku bantu tap, lalu bantu pegang tasnya sebentar.Â
Kakek itu bilang, "Terima kasih, Nak. Saya baru pertama kali naik ini". Lalu duduk dan mulai cerita tentang cucunya yang ngajarin naik JakLingko tapi nggak bisa ikut hari itu. Cerita yang sederhana, tapi bikin pagi jadi lebih manusiawi.
Aku tidak merasa jadi pahlawan. Tidak juga merasa lebih baik dari siapa pun. Tapi ada rasa ringan yang muncul. Bukan euforia, tapi semacam kelegaan bahwa di tengah kota yang sibuk dan kadang sinis ini, kita masih bisa jadi manusia. Tanpa harus viral. Tanpa harus difoto diam-diam lalu dijadikan konten motivasi.
Random act of kindness, katanya. Tapi buatku, itu bukan random. Itu refleks. Refleks manusiawi yang muncul ketika kita berhenti sebentar dan mau melihat sekitar. Ketika kita sadar bahwa kebaikan tidak harus spektakuler. Kadang cukup satu sentuhan di mesin tap, satu senyum kecil, dan satu momen yang membuat hari seseorang jadi sedikit lebih mudah.
Dan sejak saat itu, tiap duduk dekat mesin tap, aku siap jadi tukang tap lagi. Karena ternyata, jadi bagian dari kebaikan kecil itu bukan cuma bikin hati adem, tapi juga bikin kita ingat bahwa kita masih bisa hadir. Tanpa panggung, tanpa seragam, dan tanpa tepuk tangan.Â
Setelah beberapa kali naik JakLingko, aku menyadari satu hal. Rasanya sudah jadi semacam SOP tak tertulis, siapa pun yang duduk paling dekat dengan mesin tap, otomatis menjelma jadi tukang tap dadakan. Tanpa komando, tanpa pelatihan, tapi selalu ada.Â
Di tengah gerah sore dan aroma khas penumpang-campuran parfum semangat kerja, sisa gorengan di plastik, dan jaket yang sudah ikut lembur sejak pagi-ritual tap-tap itu jadi semacam solidaritas kecil. Diam-diam kita saling bantu, walau cuma lewat lengan yang menjulur ke mesin.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI