Seringkali kita menganggap tidak mungkin melakukan suatu perubahan terhadap hal yang sudah lama berlaku, seolah itu merupakan fixed mindset.Â
Menetapkan dan menjustifikasi bahwa perubahan itu sulit kerap dibayang-bayangi oleh kekhawatiran akan adanya korban, kles, bentrokan, sering menjebak kita selalu dalam mental blok, menerima keadaan sebagai kenyamanan tersendiri.
Jika saja keseriusan upaya penekanan terhadap konsumsi rokok sama dengan keseriusan pemerintah dengan KAI terhadap kedisiplinan penumpang kereta api bisa diterapkan, kemungkinan besar perokok bisa berkurang dan generasi penerusnya pun bisa ditekan.Â
Mungkin akan ada perbedaan, tapi yang digarisbawahi adalah keseriusan dan ketegasan menjalankan aturan perundang-undangannya.
 Undang-undang no 29 tahun 2009 melarang merokok di tempat umum, tapi tidak dibarengi dengan penerapan yang tegas. Pemerintah tidak maksimal menggandeng alat negara untuk memaksa warganya agar tidak merokok di tempat umum.Â
Pemerintah tidak membentuk instansi komisi ataupun lembaga khusus untuk menegakkan undang-undang yang dibuatnya.Â
Departemen kesehatan dalam hal ini hanya merupakan usaha persuasif, padahal bahaya merokok sedemikian dipublikasikan namun produksi dan distribusinya tidak dikendalikan.
Anjuran dan larangan pemerintah yang diwajibkan terdapat di tiap-tiap bungkus rokok tidak membuat perokok sadar, bahkan jumlah perokok terus meningkat. Kembali lagi jika dibandingkan dengan usaha KAI, jelas pemerintah tidak serius menangani permasalahan tentang rokok.
Kesan yang timbul justru sebaliknya, memanfaatkan budaya merokok dengan menaikkan harga cukai rokok. Kita tahu selama ini kenaikan harga cukai rokok tidak pernah ada protes dari perokok.Â
Sudah jelas bahwa konsumen perokok didominasi oleh kalangan menengah ke bawah tapi bukan tindakan penyelamatan dengan penerapan secara hukum, malah dengan cara menaikkan harga.Â