Setiap tanggal 23 Juli, bangsa ini memperingati Hari Anak Nasional sebagai bentuk komitmen terhadap perlindungan dan kesejahteraan anak-anak. Namun, di balik perayaan ini, penting bagi kita untuk melihat lebih dalam bahwa anak-anak bukan hanya mereka yang masih kecil, tetapi juga bagian dari diri kita yang pernah dan mungkin masih membawa luka.
Ketika kita mengucapkan Selamat Hari Anak Nasional, kita juga sedang menyapa dan mengakui keberadaan anak dalam diri kita yang dulu mungkin terluka dan tidak dipahami.
Artikel ini mengajak kita untuk memahami bagaimana trauma masa kecil terbentuk, dampaknya dalam hidup dewasa, dan bagaimana kita bisa sembuh dan menjadi dewasa yang aman bagi diri sendiri dan anak-anak sekitar.
Trauma Masa Kecil: Luka Tak Terlihat yang Membekas
Trauma masa kecil sering kali bukan hanya tentang peristiwa besar dan menyakitkan seperti kekerasan atau kehilangan, tapi juga pengalaman yang tampak sepele namun berulang, seperti dimarahi karena menangis, diabaikan saat takut, atau selalu dibandingkan dengan orang lain.
Psikologi menyebut ini sebagai Adverse Childhood Experiences (ACE) atau pengalaman negatif yang terjadi saat masa kanak-kanak dan berdampak jangka panjang pada perkembangan mental dan fisik seseorang.
Studi CDC-Kaiser menunjukkan bahwa semakin tinggi skor ACE, semakin besar risiko seseorang mengalami depresi, kecemasan, kesulitan menjalin relasi, dan bahkan penyakit kronis saat dewasa.
Luka ini tak tampak oleh mata, namun tubuh dan jiwa kita mengingatnya dengan sangat jelas.
Pola Asuh: Antara Niat Baik dan Dampak yang Tak Disadari
Orang tua tentu tak ingin melukai anaknya. Namun, tanpa pemahaman yang cukup tentang perkembangan emosi anak, pola asuh yang niatnya baik bisa berdampak negatif. Misalnya, pola asuh otoriter yang menekankan disiplin tanpa empati bisa membuat anak merasa tidak cukup baik.