Mohon tunggu...
Rahmad Alam
Rahmad Alam Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa psikologi UST, suka menulis dan rebahan.

Seorang mahasiswa fakultas psikologi universitas sarjanawiyata tamansiswa yogyakarta yang punya prinsip bahwa pemikiran harus disebarkan kepada orang lain dan tidak boleh disimpan sendiri walaupun pemikiran itu goblok dan naif sekalipun.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kakek Penjual Kursi Panjang

28 Desember 2021   09:51 Diperbarui: 28 Desember 2021   09:58 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi, sumber: pixabay.com 

Manusia memiliki kebutuhan untuk ingin tahu apa yang menjadi penyebab dari suatu keanehan di depan matanya. Dari keanehan atau ketidakselarasan terhadap apa yang dilihatnya ini muncul persepsi negatif dan simpulan buruk dari seseorang. Seperti yang pernah terjadi padaku yang melihat pembawaannya saat itu.

Bangku atau kursi panjang yang ada di depan rumahku sudah lama rusak dan ambruk dari beberapa minggu yang lalu. Kursi tersebut telah lama menopang berat badan anggota keluarga kami jika kami ingin duduk bersama atau sendiri sembari menatap jalan di depan rumah kami. 

Orang yang merasa paling kehilangan dari ambruknya kursi panjang yang tua ini adalah nenek kami, karena kursi itu sudah dinyatakannya sebagai tempat ternyaman untuk menikmati hari tua.

Nenek selalu menunggu jika ada penjual perabotan seperti kursi, lemari, atau pagar yang kadang lewat mengendarai mobil bak atau gerobak dorong. Di desa kami penjual yang mengitari rumah penduduk adalah hal yang wajar. 

Mungkin karena ingin lebih mencari konsumen atau memang di desa kami sedang mengalami kekurangan lapangan pekerjaan sehingga pekerjaan berat ini menjadi suatu pilihan.

Seperti saat dulu membeli kursi tua yang telah ambruk ini, kami membelinya dari pedagang yang lewat. Banyak pedagang memang mencoba peruntungan dengan mengitari rumah warga dari mulai pedagang asongan biasa yang sering kita kenali seperti cuanki, es doger, dan lainnya hingga beberapa pedagang yang agak kurang lumrah di tempat lain seperti obral cuci gudang celana panjang yang pernah kulihat menggunakan mobil bak dan pengeras suara yang digunakan menarik pembeli.

Mengamati para pedagang ini adalah suatu hiburan tersendiri yang kurasakan dan mungkin juga nenekku yang sering duduk di kursi panjang tua dulu. Melihat beberapa keunikan dari para pencari nafkah yang datang dengan segala barangnya melegakan sedikit pikiranku karena sering mengerjakan tugas kuliah.

Satu dua dari mereka memiliki keunikan dan kelucuan seperti pernah pedagang roti keliling yang mengitari pemukiman kami dengan kecepatan tingginya. Orang yang mengamatinya pasti terheran-heran bagaimana cara pembeli memanggilnya jika dia melaju secepat itu. Nenekku bilang bahwa dia tidak pernah niat jualan dan mestinya jadi joki balapan liar.

Melihat mereka juga terkadang menimbulkan iba hati jika barang dagangannya terlampau besar dan tidak ada yang beli. Pernah kulihat seorang pedagang yang menjual lemari dan pagar dari pagi hari hingga sore menjelang malam tidak berkurang benda yang ada digerobaknya itu. Terlebih jalan desa kami agak rusak sehingga mestinya berat menarik gerobak itu.

" Kasian sekali itu, Sam".ujar nenek kapan hari ketika melihat pedagang yang berpeluh keringat tak mendapatkan pembeli.

"Kau disekolahkan tinggi-tinggi agar jangan sampai bekerja kasar seperti itu, Sam", tambah nenek.

"Jadilah pekerja yang tidak perlu berpeluh keringat, Sam", tambahnya lagi.

Aku hanya mengiyakan dalam anggukan, pikirku setiap pekerjaan pastinya berat dan punya resiko masing-masing. Karena sudah termakan rasa kasihan, aku memaklumi ucapan nenekku ini. Lagipula tujuannya berucap seperti itu agar aku bersyukur disekolahkan hingga perguruan tinggi oleh kedua orang tuaku.

Memang nenek sering memberi wejengan agar bersyukur dan bekerja menjadi pekerja yang setidaknya punya martabat tinggi. Hal ini tidak lepas dari pengalamannya dulu ketika muda bekerja di sebuah pabrik yang menurut ceritanya tidak memperlakukan pekerjannya dengan baik, bos pabrik sering marah-marah kepadanya karena hanya beberapa kesalahan kecil yang dilakukannya dan teman-temannya. Persaingan antar karyawan pabrik juga terkadang tidak sehat dan membuat semangat bekerja menurun.

Aku juga sebetulnya tidak ingin menjadi seorang pekerja kasar namun apa salahnya menghargai setiap pekerjaan yang ada dan tidak membanding-bandingkannya dengan yang lain. Setiap orang mesti punya latar belakang masing-masing mengambil suatu pekerjaan, baik itu terpaksa maupun tidak.

***

Setelah berminggu-minggu menunggu, akhirnya ibuku yang seorang guru pulang membawa kabar bahwa dalam perjalanannya kerumah ia melihat seorang kakek penjual kursi panjang mengarah kesini. 

Lantas lalu ibuku mendatanginya dan memberikan alamat rumah kami agar beliau dapat mengantarkan kursi panjang yang ingin dibeli nenekku.

Mendengar hal tersebut, nenek langsung menunggu di teras rumah kami sembari sesekali melihat ke arah jalan. Kian lama nenekku menunggu namun tak kunjung datang juga si penjual kursi ini. 

Ibuku berkata dia bertemu dengan penjual kursi itu tadi saat di pusat kota tempat dia mengajar dan mungkin si penjual belum sampai ke desa kami karena harus mendorong gerobaknya.

Lalu di tengah siang saat aku mengerjakan tugas kuliahku, muncul juga akhirnya seorang kakek yang mendorong gerobak berisikan dua tiga kursi panjang ke arah rumah kami. Langsunglah nenekku menyambutnya dan bermaksud ingin membeli salah satu barang dagangannya itu.

Nenekku memilih bangku yang paling bagus dan kuat, namun dirasanya semua bangku sama saja tipisnya dan tidak kokoh seperti punya kita dulu. Nenek sedikit kecewa karena itu tapi melihat penjual bangku itu sudah berjalan kemari dan juga sudah berumur membuat nenek membeli salah satu yang sedikit lebih bagus diantara yang lainnya.

"Berapa pak ini?", tanya nenek kepada si penjual tua itu.

"150 ribu, buk", jawab si penjual.

"Gak bisa kurang?, 120 lah", tawar nenekku.

"gak bisa bu, soalnya saya belum kejual satu pun dari pagi", minta si penjual tua lagi.

Nenek hendak menawar lagi namun rasa kasihan mungkin timbul di hatinya kala tadi dia menyebutkan belum terjual satupun dari pagi.

 Nenek lalu ke dalam rumah untuk mengambil uang yang kurang karena dia hanya membawa 120 ribu ditangannya. Lalu aku mencoba keluar kamar guna berbasa-basi dengan si penjual tua itu.

"ini bukan dari kayu jati ya pak sepertinya?", tanyaku sembari memegang bilah kayu kursi panjang yang dibeli nenek tadi.

"iya den, ini dari kayu linen soalnya kayu jati susah didapat sekarang", jawabnya.

"kalau rumah bapak dimana?", tanyaku lagi.
"rumah saya di kecamatan H den",

"rumah teman saya banyak disana pak, ngomong-ngomong lumayan jauh juga ya pak ke desa J ini",

"yah begitu adanya den, yang penting ada pembeli dan biasanya saya jarang lewat sini den, soalnya jalannya rusak",

"tapi Alhamdulillah ada yang beli toh pak",

Penjual tua ini mungkin karena sudah diberikan kesan akrab dari basa-basi kami ini mulai berbicara banyak.

"saya sudah sepuluh tahun kerja begini den, walau sedikit penghasilannya tapi Alhamdulillah cukup",

"oh begitu ya pak, Alhamdulillah", Aku menjawab secukupnya.

"dulu saya kerja jadi akuntan loh den",

"wah, masa to pak?", Aku mulai merasa sedikit ada yang aneh dengan penjual tua ini.

"lah iya den, saya juga pernah kerja di luar negeri", tambahnya yang membuatku mulai heran.

"wuih keren sekali pak, tapi kenapa bapak jadi seperti ini sekarang?", tanyaku yang ingin memastikan hal yang membuat janggal ini.

"yah begitulah den, saat kita dapat jabatan tinggi tentu ada saja den yang ingin menjatuhkan dan memanfaatkan kita", jawabnya.
Entah mungkin dia hanya meracau tapi ku rasa segan meninggalkannya.

"dulu ketika masih hidup enak nih den, saya bisa makan tiga kali di restoran bintang lima, semuanya dulu mudah dicapai den", tambahnya lagi.

"harta seakan mengalir sendiri ke kantong saya dan wanita-wanita cantik mulai berada di samping saya waktu itu. Karena sudah mabuk kepayang dengan nafsu duniawi saya jadi terperosok jatuh ke dalam kesengsaraan den" katanya melanjutkan cerita yang masih kuanggap di persimpangan antara kenyataan dan dusta.

"pernikahan pertama saya jadi hancur berantakan den, sekarang sudah enam kali saya menikah dan cerai empat kali", lanjutnya lagi.
Lalu nenek muncul memberikan uang bayaran dan segelas air untuknya.

"diminum dulu pak", ujar nenekku.

"terima kasih Bu", jawab pembeli itu sambil menyeruput air pemberian nenek.

Mungkin setelah menghabiskan segelas air ini dia akan pergi pikirku, pembicaraan yang meracau tadi mungkin cuma usahanya membunuh waktu menunggu nenekku memberikan uang bayaran kursi. Namun ternyata dia tetap melanjutkan ceritanya ini.

"memang dulu saya ini gampang sekali didekati seorang wanita, paras saya memang dulu amat menarik dan memikat. Sayangnya saya gampang bosan dari satu wanita ke wanita lain dan jadilah saya begini", sambil ia menyeruput lagi minumnya.

"setelah saya mulai bertemu dengan banyak perempuan yang memanfaatkan harta saya, perlulah saya menyederhanakan diri agar daya pikat saya tidak terlalu besar. Jadilah saya di pekerjaan saya mengangkut perabotan dan furnitur rumah ini", ujarnya yang bagiku ini Cuma bualan bagi pembelaan diri atas kondisi susahnya saat ini.

"saya ke belakang dulu ya pak, mau masak belum selesai", ucap nenekku yang masuk sambil melirik kearahku dan mungkin berucap begini dalam hati, " tinggalkan si tua ini bersama bualannya ,Sam. Kau ada tugas kuliah kan?!" .

Namun sepertinya dalam benakku masih enggan untuk meninggalkannya karena kurasa agak kurang sopan melakukan hal itu kepada orang yang lebih tua. 

Diriku juga masih belum menyimpulkan apa yang dikatakannya sebagai bualan, yah mungkin hampir. Jika benar ini adalah sebuah bualan juga siapa yang tidak ingin diceritakan sebuah karya fiksi menarik bukan?.

"bukannya saya mau sombong ya den, tapi soal menggaet perempuan bukan suatu hal sulit yang bisa saya lakukan. Bahkan itu bisa terjadi tanpa saya mau sekalipun", ucap si penjual tua ini.
"wah bapak dulu mungkin sangat rupawan dan memikat ya", ucapku menimpali.

"dulu?, saya sekarang juga masih memikat den. Istri saya yang terakhir ini bahkan bule dari rusia den". Ucapannya ini membuatku tergelak dalam hati dan menjatuhkan simpulan ucapannya sebagai bualan dan kurasa sudah cukup perbincangan kami.

"wah begitu ya, ya sudah pak mohon maaf saya tinggal dulu mau mengerjakan tugas kuliah", ucapku ingin memutus perbincangan ini.

"ya silahkan den, tapi jangan terlalu tinggi kalau sekolah tidak mendapatkan pujaan hati den", ucapnya sedikit bercanda.

"hahaha iya pak, saya bukan bapak yang punya daya pikat luar biasa jadi harus sekolah tinggi dulu. Gelasnya taruh saja di situ pak", Aku menjawabnya dengan candaan getir.

Aku lalu masuk ke kamar dan membuka laptopku mencoba menyelesaikan tugas-tugas kuliahku sambil mengawang pembicaraan si kakek tua penjual kursi tadi dengan keanehan dan keheranan. 

Lalu di malam hari saat kami sekeluarga berkumpul menonton televisi di ruang keluarga, nenek masih sedikit kecewa dengan kursi panjang yang baru dibeli siang tadi.

Aku berinisiatif menceritakan perbincangan kami dengan si penjual tua itu. Saat semua cerita si kakek tua telah ku ceritakan,lalu Ayah, Ibu, dan saudara-saudariku tergelak. Nenekku juga berkata bahwa sudah mengisyarakatkan untuk pergi saja meninggalkan si penjual tua itu melantur tidak jelas.

"orang susah kadang tidak mengaku mereka susah jadi mengarang hal yang tidak betul di masa lalu", ujar nenekku.

"ya mereka membual seperti itu untuk tidak dilihat sebagai orang yang patut dikasihani, tapi cerita memikat hati perempuan bule itu patut diberi apresiasi ceritanya",ucap Ayah menambahi yang lalu diikuti dengan gelak tawa.

"kau harus mencari pekerjaan yang bagus kelak setelah lulus, Sam. Jangan jadi seperti si kakek tua tadi itu, sudah bekerja berat suka melantur pula dia", nenek mengucap seperti biasa tentang pandangan pekerjaannya.

***

Berkumpul bersama kawan lama sudah menjadi rutinitasku jika akhir pekan tiba. Di kecamatan H banyak teman-teman semasa SMA ku yang seringku ajak nongkrong bareng guna melepas penat mengerjakan tugas kuliah. Kami memilih warung kopi dekat perlintasan rel kereta api.

Disamping kiri dan kanan perlintasan kereta api, aku melihat banyak perumahan semi permanen dari orang-orang yang kurang beruntung guna mendirikan tempat berteduh. 

Saat kopiku yang kupesan datang, aku melihat kakek si penjual kursi panjang kapan hari di depan salah satu rumah disana. Mungkin itu rumahnya pikirku, mungkin dia baru pulang kerja dan bualannya kala itu menjadi alasan aku untuk tersenyum simpul.

Saat aku ingin meneguk kopiku ini lalu dari dalam rumah si penjual tua itu muncul sesosok perempuan bermata biru dan berambut pirang dengan daster khas indonesia namun kulitnya menangkap jelas bahwa dia bukan dari kalangan kami. 

Dia membawa handuk dan kopi ke penjual tua itu dan berbincang manja. Saat mereka masuk ke dalam rumah mereka, aku belum juga meminum satu teguk pun kopiku hingga dingin.

*****


Cerita hanya fiksi belaka, kesamaan tempat, nama orang, dan cerita hanya kebetulan semata.


(Rahmad Alam, 26 Desember 2021).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun