Tapak jejak tak lagi tampak. Tertahan reruntuhan, terjeda bebatuan. Maju jadi tak mampu, ke depan jadi sungkan. Coba dobrak benteng penghalang tapi keras bukan kepalang. Terpental, kesulitan menaklukannya, terlalu keras, tinggi, kokoh, kuat, solid. Seolah seluruh unsur kekuatan di muka bumi bersemayam pada dirinya.
Beribu cara mencuat dikepala, namun tetap saja berujung cela. Makian, ringkihan, pekikan sekeras apapun, sekuat apapun tak sedikitpun membuatnya bergeming. Ia tak bertelinga, tak bermata, tak berasa. Apa yang ada padanya hanya kekuasaan dan kekerasan.
Hantaman demi hantaman tetap stagnan tak sesuai harapan. Ia tetap tegar, tegap menjulang mempertanhkan keabsolutannya. Rintihan, ketidaksanggupan berjuang merebak dimana-mana. Mereka lelah dengan kesia-siaan, mereka jangah dengan kebodohan, mereka resah dengan kekalahan.
Harapan agar terlepas dari pasung kebatilan lontarkan semangat hancurkan tembok kemalasan, gerbang kepandiran. Ledakan granat perjuangan, tembakan senapan keberanian, tebasan pedang perlawanan silih berganti menghujam benteng penghalang menuju kemenangan.
Peluh yang menetes, darah yang mengucur, air mata yang mengalir jadi saksi bahwa diri ingin merdeka dari segala jeratan, segala penahanan, dari kesendatan. Kini dan esok jadi penentu penasbihan jatidiri, pembuktian harga diri, apakah harap yang terucap termanifestasi di alam nyata, atau tetap terkungkung di alam khayal. Â Â