Mohon tunggu...
Rahman Wahid
Rahman Wahid Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Menggapai cita dan melampauinya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Falsifikasi Cinta

21 Desember 2019   21:34 Diperbarui: 21 Desember 2019   22:52 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Pixabay/congerdesign

Banyak orang ketika membicarakan cinta kerap mengkaitkannya dengan pertanyaan seputar bagaimana cinta yang sempurna itu? Bagaimana indikator kesempurnaannya? Bagaimana contoh kasus nyatanya? Sebagian orang banyak mengatakan ihwal kesempurnaan cinta adalah soal yang isinya berupa kesenangan, kebahagiaan, dan kesukariaan.

Dalam satu dimensi, bisa jadi kesempurnaan cinta koheren dengan kebahagiaan atau sesuatu hal yang bernilai positif atau baik. Secara terminologi cinta bisa dikatakan sebagai sebuah rasa sayang kepada sebuah benda atau bukan benda. Lebih rinci banyak yang mengatakan bahwa rasa sayang itu harus termanifestasi dalam proses percintaan yang baik atau harmonis.

Kesesuaian antara teori dan realita tersebut bisa dikatakan sebagai cara verifikasi cinta. Sehingga kebenaran akan kesempurnaan cinta dilihat dari kesesuaian antara teori dan praktiknya. Inilah yang menjadi paradigma berpikir soal kesempurnaan cinta yang banyak dianut oleh masyarakat. Sehingga bisa dikatakan lewat tinjauan filosofis, hal tersebut merupakan bentuk dari analisis cinta yang cenderung beraliran positivis.

Saat ini klaim kebenaran akan kesempurnaan cinta tersebut sepatutnya kita perlu pertanyakan kembali. Apakah benar sesuatu yang sempurna itu lahir dari segala hal yang baik? Apakah benar lebih bernilai suatu hal baik yang dihasilkan oleh modal awal yang baik atau sebaliknya? Apakah benar sesuatu yang sempurna menjadi seutuhnya sempurna lewat kesempurnaannya atau sebaliknya?

Disini kita perlu mencoba untuk menggunakan cara pandang baru dalam membedah soal keabsahan soal kesempurnaan cinta. Setingkat lebih jauh dari proses verifikasi, ada sebuah cara yang bisa kita lakukan untuk membedah dan meninjau ihwal cinta ini secara lebih dalam sehingga mampu menghasilkan penarikan kesimpulan yang jernih dan komprehensif. Ya, itulah proses falsifikasi cinta.

Bagaimana maksudnya? Falsifikasi memandang suatu kebenaran atau paham atau teori itu benar jika teori tersebut dapat dibuktikan kesalahannya. Suatu teori seharusnya memungkinkan untuk bisa disalahakan, karena dengan adanya kesalahan atau dapat disanggah maka dengan demikian teori tersebut akan terus merefleksi dan memperbaiki diri dan semakin lama dari proses perbaikannya itu akan menghasilkan bangunan baru yang lebih kuat.

Dari sini kita mungkin teringat petuah dari Sokrates yang mengatakan bahwa "hidup yang tak teruji bukanlah hidup yang bernilai" Ini memiliki makna bahwa nilai dari suatu hal akan lebih tinggi derajatnya apabila ia sudah teruji dan mampu melewatinya.

Kembali pada falsifikasi, ya kesempurnaan cinta dalam kacamata falsifikasi harus bisa dibuktikan kesalahannya dan mencapai derajat kesempurnaan yang hakiki dalam falsifikasi dianggap mustahil, ia hanya mampu mencapai taraf mendekati kesempurnaan. Oleh sebab itu maka kesempurnaan cinta haruslah dicari letak ketidaksempurnaannya. Salah satu yang harus dipahami adalah bahwa kesempurnaan tidak mungkin ada karena ia terbentuk dari subjek cinta yang juga tidak sempurna yaitu manusia.

Berdasarkan hal tersebut maka kesempurnaan cinta dalam falsifkasi adalah kesempurnaan yang dibangun dari ketidaksempurnaan, refleksi, dan daya upaya perbaikan dari segala kesalahan yang telah dilakukan.

Kedua, dalam proses mencinta, pasti akan selalu terdapat rintangan, dengan begitu maka kesempurnaan cinta akan selalu menjadi utopia semata. Disinilah kemudian konflik yang terjadi dalam cinta justru dapat mereduksi nilai dari cinta itu sendiri jika subjek cinta tidak mampu melalui fase kritis dalam sebuah proses mencinta.

Pada intinya falsifikasi menolak utopia kesempurnaan cinta yang too good to be true. Cinta hanya mampu mendekati kesempurnaan, dan ia akan menjadi begitu jika ia terbentuk dari proses yang tidak sama sekali menggambarkan kesempurnaan, yakni justru muncul juga dari ketidakpastian, kealpaan, dan kesalahan. Terakhir, falsifikasi kesempurnaan cinta ini jika diibaratkan lewat jargon terkenal dari Tan Malaka adalah "terbentur, terbentur, terbentuk!"

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun