Mohon tunggu...
Rahmad Ramadhan
Rahmad Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa

saya seorang mahasiswa yang tertarik dalam mencoba hal-hal baru, dan juga sama memiliki hobi bermain bulu tangkis.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Technopreneur di Kampus: Solusi atau Ilusi untuk Pengangguran yang Kian Mencekik?

26 Juli 2025   16:30 Diperbarui: 26 Juli 2025   16:02 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dilema Technopreneur Kampus Vs Pengangguran. Sumber : Freepik

"Lulus cum laude, tapi masih menganggur setahun lebih. Modal ijazah tebal, tapi mental entrepreneurship nol."

Kalimat itu mungkin terlalu kasar, tapi itulah realita yang dihadapi ribuan sarjana setiap tahun. Di tengah angka pengangguran terbuka (TPT) yang terus merangkak naik---menurut BPS, mencapai 5,7% per Februari 2024---kampus-kampus berlomba memasukkan kurikulum technopreneur sebagai solusi ajaib. Tapi benarkah ini jawaban, atau sekadar ilusi yang meninabobokan kita dari masalah sebenarnya?

Technopreneur: Antara Mimpi dan Realita yang Pahit

Gerakan technopreneur di kampus sering digadang-gadang sebagai obat mujarab. Mulai dari mata kuliah kewirausahaan digital, inkubasi bisnis, hingga kerja sama dengan startup. Tapi lihatlah lebih dalam: berapa banyak mahasiswa yang benar-benar jadi pengusaha teknologi setelah lulus?

Faktanya, kebanyakan program technopreneur hanya sekadar teori tanpa eksekusi. Mahasiswa diajari membuat business plan, tapi tak pernah benar-benar terjun ke pasar. Mereka belajar pitch deck, tapi tak pernah merasakan ditolak 100 kali oleh investor. Hasilnya? Lulusan yang merasa sudah "siap jadi founder", tapi mentalnya masih karyawan.

Kurikulum Technopreneur vs Mentalitas Instant Gratification

Di satu sisi, kampus berteriak tentang pentingnya startup dan inovasi. Di sisi lain, sistem pendidikan kita masih terjebak dalam budaya instan:

  • Dosen-dosen yang tak pernah startup mengajar kewirausahaan.
  • Mahasiswa lebih fokus nilai A daripada validasi pasar.
  • Kampus lebih bangga pada jumlah startup fiktif di laporan tahunan daripada yang benar-benar bertahan.

Akibatnya? Banyak "startup kampus" yang mati segera setelah dana hibah habis. Bukan karena ide buruk, tapi karena tak ada kematangan mental untuk bertahan di dunia nyata.

Globalisasi vs Technopreneur Lokal: Siapkah Kita?

Di era di mana batas negara semakin kabur, technopreneur Indonesia tak hanya bersaing dengan sesama lulusan kampus, tapi juga dengan pendiri startup dari India, Vietnam, atau Kenya yang lebih gesit dan lapar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun