"Lulus cum laude, tapi masih menganggur setahun lebih. Modal ijazah tebal, tapi mental entrepreneurship nol."
Kalimat itu mungkin terlalu kasar, tapi itulah realita yang dihadapi ribuan sarjana setiap tahun. Di tengah angka pengangguran terbuka (TPT) yang terus merangkak naik---menurut BPS, mencapai 5,7% per Februari 2024---kampus-kampus berlomba memasukkan kurikulum technopreneur sebagai solusi ajaib. Tapi benarkah ini jawaban, atau sekadar ilusi yang meninabobokan kita dari masalah sebenarnya?
Technopreneur: Antara Mimpi dan Realita yang Pahit
Gerakan technopreneur di kampus sering digadang-gadang sebagai obat mujarab. Mulai dari mata kuliah kewirausahaan digital, inkubasi bisnis, hingga kerja sama dengan startup. Tapi lihatlah lebih dalam: berapa banyak mahasiswa yang benar-benar jadi pengusaha teknologi setelah lulus?
Faktanya, kebanyakan program technopreneur hanya sekadar teori tanpa eksekusi. Mahasiswa diajari membuat business plan, tapi tak pernah benar-benar terjun ke pasar. Mereka belajar pitch deck, tapi tak pernah merasakan ditolak 100 kali oleh investor. Hasilnya? Lulusan yang merasa sudah "siap jadi founder", tapi mentalnya masih karyawan.
Kurikulum Technopreneur vs Mentalitas Instant Gratification
Di satu sisi, kampus berteriak tentang pentingnya startup dan inovasi. Di sisi lain, sistem pendidikan kita masih terjebak dalam budaya instan:
- Dosen-dosen yang tak pernah startup mengajar kewirausahaan.
- Mahasiswa lebih fokus nilai A daripada validasi pasar.
- Kampus lebih bangga pada jumlah startup fiktif di laporan tahunan daripada yang benar-benar bertahan.
Akibatnya? Banyak "startup kampus" yang mati segera setelah dana hibah habis. Bukan karena ide buruk, tapi karena tak ada kematangan mental untuk bertahan di dunia nyata.
Globalisasi vs Technopreneur Lokal: Siapkah Kita?
Di era di mana batas negara semakin kabur, technopreneur Indonesia tak hanya bersaing dengan sesama lulusan kampus, tapi juga dengan pendiri startup dari India, Vietnam, atau Kenya yang lebih gesit dan lapar.
Pertanyaannya:
- Apakah kurikulum technopreneur di kampus kita sudah mengajarkan global mindset?
- Atau kita hanya mencetak "pengusaha lokal" yang tak siap menghadapi gempuran Silicon Valley?
TWIST: Technopreneur Bukan Solusi---Tapi Alat untuk Bertahan
Ini yang jarang diungkap: Technopreneur bukanlah solusi ajaib untuk pengangguran. Ia hanyalah salah satu senjata di tengah perang yang jauh lebih besar: ketimpangan skill, mentalitas korporat yang kolot, dan sistem pendidikan yang terlambat beradaptasi.
Jika kampus benar-benar serius melahirkan technopreneur, maka:
- Ganti dosen teori dengan founder sungguhan yang pernah gagal bangun bisnis.
- Ukur kesuksesan bukan dari jumlah startup, tapi dari revenue dan ketahanan bisnis.
- Ajarkan kegagalan sebagai bagian wajib---bukan sekadar cerita motivasi.
"Jangan Cuma Jadi Tren, Jadilah Gerakan Nyata."
Technopreneur di kampus bisa jadi solusi---jika kita berani keluar dari zona nyaman. Jika tidak, ia hanya akan jadi ilusi indah yang membuat kita lupa:
"Masalah pengangguran tak akan selesai hanya dengan mengganti label 'pencari kerja' jadi 'pengusaha'."
Jadi, masih percaya technopreneur adalah jawaban? Atau kita perlu berhenti berbohong pada diri sendiri?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI