Ketika kita membicarakan tentang satwa karismatik Indonesia, Gajah Sumatera hampir selalu menjadi sorotan. Tubuhnya yang besar, telinga lebar, dan belalai yang cerdas menjadikannya simbol kekuatan sekaligus kelembutan. Namun, di balik pesonanya, Gajah Sumatera kini menghadapi ancaman serius yang membuat kita patut khawatir. Populasinya kian menurun, habitatnya menyusut, dan konflik dengan manusia semakin sering terjadi. Padahal, keberadaan gajah di hutan memiliki peran ekologis yang sangat penting. Kehilangan mereka bukan hanya kehilangan satwa, melainkan juga kehilangan keseimbangan ekosistem yang menopang kehidupan manusia.
Data WWF Indonesia (2020) menunjukkan bahwa hanya sekitar 1.000 ekor gajah yang tersisa di alam liar. Angka ini mencerminkan kondisi yang sangat memprihatinkan. International Union for Conservation of Nature (IUCN) bahkan menetapkan Gajah Sumatera dalam status Critically Endangered atau kritis terancam punah. Artinya, spesies ini berada di ambang kepunahan jika tidak segera diselamatkan.
Secara hukum, gajah ini termasuk satwa yang dilindungi melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati. Mereka juga masuk Appendix I CITES, yang berarti perdagangan internasional gajah dan bagian tubuhnya dilarang. Meski begitu, ancaman nyata masih terus menghantui: perburuan, jerat, hingga hilangnya habitat karena alih fungsi hutan.
Hilangnya Habitat, Hilangnya Harapan
Selama 25 tahun terakhir, Sumatera kehilangan lebih dari 70% hutan alaminya (WWF, 2020). Sebagian besar kawasan hutan berubah menjadi perkebunan sawit, Hutan Tanaman Industri (HTI), hingga permukiman. Kondisi ini ibarat dua sisi mata uang. Di satu sisi, manusia memperluas ruang hidupnya dengan membabat hutan. Di sisi lain, gajah kehilangan jalur jelajahnya dan terpaksa masuk ke area pertanian warga. Inilah yang melahirkan konflik antara manusia dan gajah.
Konflik manusia dengan gajah bukan lagi isu. Data BKSDA Aceh (2024) mencatat 761 kasus konflik hanya dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Di Aceh Jaya, awal 2025, seekor gajah ditemukan mati tersengat listrik dari pagar kebun. Bagi masyarakat lokal, kehadiran gajah dianggap ancaman nyata bagi sumber penghidupan. Ladang yang dirusak sama saja dengan hilangnya sumber makanan keluarga. Di sisi lain, bagi gajah, hutan yang dirampas membuat mereka tidak punya pilihan lain selain mencari makan di lahan pertanian.
Kondisi ini menciptakan lingkaran konflik yang tragis: manusia rugi, gajah mati.
Indonesia tidak sendirian menghadapi persoalan konflik manusia dan gajah. Di Afrika, misalnya, konflik dengan gajah Afrika juga sering terjadi. Namun, berbagai negara di benua itu berhasil menekan konflik dengan pendekatan community-based conservation: melibatkan masyarakat langsung dalam pengelolaan dan memberi manfaat ekonomi dari keberadaan gajah, misalnya melalui ekowisata. Model serupa bisa diterapkan di Sumatera.
Bayangkan jika masyarakat di sekitar hutan mendapat penghasilan dari wisata konservasi gajah. Maka, gajah tidak lagi dipandang sebagai ancaman, melainkan aset berharga yang patut dijaga.
Meski situasi tampak suram, berbagai upaya penyelamatan Gajah Sumatera terus dilakukan. Pada 2024, Presiden RI menegaskan bahwa penyelamatan gajah menjadi prioritas nasional (KLHK, 2024). Salah satu langkah besar adalah Program Peusangan Elephant Conservation Initiative (PECI) yang mengelola sekitar 90.000 hektar habitat gajah. Selain itu, pemerintah bersama organisasi konservasi seperti WWF dan BKSDA mengembangkan beberapa strategi, antara lain:
Restorasi habitat untuk mengembalikan ketersediaan pakan alami.
Pengelolaan koridor gajah agar satwa dapat bermigrasi tanpa harus memasuki area pertanian.
Program kompensasi kerugian petani, bahkan di Aceh sudah ada inisiatif asuransi konflik satwa.
Teknologi peringatan dini (early warning system) menggunakan sensor gerakan gajah yang dipasang di desa sekitar TN Way Kambas. Teknologi ini memungkinkan warga bersiap lebih cepat ketika kawanan gajah mendekat.
Langkah-langkah ini menjadi bukti bahwa solusi bukan hanya soal melindungi gajah, melainkan juga melibatkan manusia sebagai bagian penting dari ekosistem.
Harmoni: Jalan Tengah bagi Manusia dan Gajah
Pertanyaan terbesar yang harus dijawab adalah: mungkinkah manusia dan gajah hidup berdampingan? Jawabannya: mungkin, jika ada komitmen bersama.
Kunci harmoni terletak pada keadilan ekologi. Artinya, manusia berhak atas kesejahteraan, tetapi gajah juga berhak atas ruang hidup. Restorasi habitat dan konservasi harus berjalan beriringan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Seperti yang ditegaskan WALHI (2023), prinsip utamanya adalah mengakui bahwa manusia dan satwa sama-sama punya hak hidup. Jika prinsip ini dijalankan, konflik bisa ditekan, dan harmoni bisa tercapai.
Gajah Sumatera bukan sekadar satwa. Mereka adalah penjaga hutan, penyebar biji, dan penentu keseimbangan ekosistem. Jika mereka hilang, dampaknya akan merembet pada seluruh rantai kehidupan, termasuk manusia. Gajah Sumatera bukan sekadar satwa liar. Mereka adalah bagian dari jati diri bangsa Indonesia, satwa karismatik yang menjadi kebanggaan sekaligus tanggung jawab kita. Jika mereka punah, sejarah akan mencatat generasi kitalah yang gagal menjaga warisan alam ini. Kita tidak bisa hanya berharap pada pemerintah atau lembaga konservasi. Kesadaran publik juga sangat penting. Dukungan bisa dimulai dari hal sederhana menyebarkan informasi, mendukung produk ramah lingkungan, hingga terlibat dalam kampanye konservasi.
Seperti pepatah, kita tidak mewarisi bumi dari nenek moyang, tetapi meminjamnya dari anak cucu kita. Menyelamatkan Gajah Sumatera berarti menyelamatkan masa depan kita sendiri.
Gajah Sumatera adalah warisan alam Indonesia yang tak ternilai. Mereka karismatik, cerdas, sekaligus rapuh di tengah ancaman yang terus menghimpit. Harmoni antara manusia dan gajah bukanlah utopia, melainkan kebutuhan nyata agar keduanya dapat terus hidup berdampingan.
Kini saatnya kita bicara, speak for the species, bukan hanya untuk gajah, tetapi juga untuk bumi yang kita huni bersama.
#WAD2025 #SpeakfortheSpecies #Lestarisiana #Blogcompetition
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI