Mohon tunggu...
rahma aziza
rahma aziza Mohon Tunggu... Mahasiswi Program Studi Manajemen Pendidikan Islam UIN Prof. K.H Saifuddin Zuhri Purwokerto

learner

Selanjutnya

Tutup

Seni

Permainan Amarah: Meretas Benang Kusut antara Harapan dan Kemarahan

23 Agustus 2025   01:20 Diperbarui: 23 Agustus 2025   15:11 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Emotion and Learning Cycle (Sumber: Pinterest. com)

Hidup manusia sering kali bergerak di antara dua kutub: harapan yang kita semai dan kenyataan yang kita terima. Harapan memberi kita semangat, arah, serta tujuan. Namun, ketika harapan itu tidak sejalan dengan realitas, kekecewaan muncul dan sering berujung pada kemarahan. Fenomena ini bukanlah sesuatu yang asing. Hampir setiap orang pernah merasa marah ketika sesuatu yang mereka harapkan tidak terwujud entah sesederhana janji yang tidak ditepati, hingga sebesar kegagalan dalam karier atau hubungan.

Pertanyaan pun muncul : apakah amarah hanyalah emosi spontan? , atau sebenarnya ia lahir dari ekspektasi yang tidak terpenuhi? Tulisan yang saya tulis ini berusaha menelusuri benang kusut antara harapan dan kemarahan, serta menawarkan cara meretasnya agar manusia bisa hidup lebih tenang tanpa kehilangan daya juang.

Ekspektasi: Sumber Harapan sekaligus Beban

Menurut William Shakespeare, "Ekspetasi Adalah akar segala sakit hati." Ekspetasi Adalah produk ego dan menciptakan kekecewaan yang beracun. Menurut psikologi kognitif, Ekspetasi adalah keyakinan mengenai apa yang akan terjadi di masa depan berdasarkan pengalaman, harapan, maupun standar pribadi. Ekspetasi bisa menjadi positif apabila menjadi pendorong produktivitas, contohnya si A belajar secara maksimal karena ia ingin mendapatkan nilai yang bagus. Namun, ekspektasi juga bisa berubah menjadi negative atau jebakan. Semakin tinggi standar yang kita pasang, semakin besar pula peluang kekecewaan. Misalnya, kita selalu berharap kepada orang terdekat kita selalu ada di setiap situasi, dan akan mudah terluka Ketika sekali saja ditinggalkan.

Dalam relasi sosial, terlalu banyak ekspektasi sering melahirkan konflik. Ekspektasi, dengan demikian, adalah pedang bermata dua: ia bisa mengangkat semangat, tetapi juga bisa menjerumuskan dalam frustrasi.

Amarah: Ekspresi dari Kekecewaan

Amarah adalah emosi dasar manusia yang muncul ketika kita merasa dirugikan, ditolak, atau diperlakukan tidak adil. Dalam perspektif biologis, amarah melibatkan reaksi fisiologis berupa peningkatan detak jantung, tekanan darah, dan adrenalin. Secara evolusioner, amarah berguna sebagai mekanisme pertahanan diri.

Tetapi dalam kehidupan kita sehari- hari, amarah sering kali tidak lagi proporsional dengan penyebabnya. Kita bisa marah berlebihan hanya karena pesan WhatsApp tidak dibalas, atau karena hasil pekerjaan tidak sesuai ekspektasi.

Dalam Ilmu Psikologi, yang membedakan 2 bentuk marah:

  1. Marah sehat (assertive anger): kemarahan yang diekspresikan dengan tegas namun tidak merusak. Misalnya, si A menyampaikan keberatan dengan kata kata yang di sampaikan si B, dan si A menyampaikan itu dengan kata-kata yang jelas tanpa menyerang. 

  2. Marah destruktif: kemarahan yang meledak-ledak, menyakiti diri sendiri atau orang lain, bahkan bisa merusak hubungan jangka panjang.

Dengan kata lain, amarah bukanlah sesuatu yang sepenuhnya buruk. Yang berbahaya adalah ketika ia dibiarkan menjadi destruktif tanpa kendali.

Benang Kusut: Bagaimana Ekspektasi dan Amarah Saling Mengikat

Ekspektasi dan amarah seringkali berjalan beriringan. Ekspektasi yang tidak terpenuhi menjadi bahan bakar utama lahirnya kemarahan. Misalnya, ketika seorang pekerja berharap dirinya yang dipilih untuk di promosikan, namun ternyata yang dipromosikan adalah rekan kerjanya, rasa kecewa yang muncul bisa berubah menjadi amarah pada atasan, rekan kerja, bahkan pada diri sendiri. Fenomena ini dapat dijelaskan melalui teori cognitive appraisal dari Lazarus (1991) yang menyatakan bahwa emosi timbul dari penilaian kognitif terhadap situasi. Ketika kita menilai sebuah peristiwa sebagai ancaman terhadap harapan atau tujuan kita, emosi negatif seperti marah lebih mudah muncul.

Ekspektasi tinggi- realitas tak sesuai - kekecewaan - muncul amarah.
Siklus ini bisa berulang, terutama jika seseorang sulit menurunkan standar harapannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun