Mohon tunggu...
Rahayu Damanik
Rahayu Damanik Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu Rumah Tangga

Best in Specific Interest Kompasianival 2016

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menghirup Eksistensi Budaya dan Kemurnian Alam Baduy di Tengah Gempuran Arus Modernisasi

3 April 2016   23:25 Diperbarui: 29 Agustus 2016   12:05 620
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beras dan buah-buahan yang mereka tanam adalah benar-benar murni produk organik yang sangat menyehatkan karena tidak terkontaminasi elemen berbahaya, seperti pada buah, sayuran, dan beras non-organik yang biasa kita konsumsi. Padahal produk non-organik itu sangat berbahaya karena sedikit banyaknya mengandung karsinogen pemicu tumor atau kanker dalam tubuh. Tampaknya penanaman atau produksi bahan pangan secara organik kini  mulai banyak ditiru sehingga produknya bisa dijual ke warga kota besar yang peduli pada kesehatannya.

Pak Sapri buru-buru merogoh isi tas tentengnya. Beliau mengeluarkan buah duku dan memberikan pada saya. “Coba makan, rasanya berbeda” Wahhhhh benar-benar buah duku yang manis, biasanya saya kurang suka duku namun ini berbeda karena rasa asamnya nyaris tertutup dengan rasa manis dan yang paling menyenangkan bijinya juga kecil-kecil sehingga kadang langsung saya telan berserta biji kecil yang empuk. Saya semakin mengagumi hasil tanaman yang benar-benar ditanam tanpa pupuk dan hanya mengandalkan kesuburan tanah. 

“Simpan ya nomor anak Bapak yang pertama, namanya Aldi. Nanti bila ada apa-apa bisa telepon” demikian pesan Pak Sapri. 

Namun HP hanya akan aktif bila Aldi sedang berada di luar Baduy Dalam karena selain tidak diperbolehkan mengaktifkan HP juga tidak ada sinyal di daerah Baduy Dalam. Saya semakin terpesona dengan kebaikan hati Pak Sapri yang walaupun sangat menjunjung tinggi budaya asli Baduy namun sangat ramah dan terbuka dengan warga luar Baduy seperti saya.

Ketika perjalanan pulang ke Ciboleger, saya bertemu dengan anak-anak remaja wanita dan pria Baduy Dalam. Mereka  ternyata sedang keluar dari area Baduy Dalam karena ingin membeli berbagai keperluan di Ciboleger yang tidak bisa mereka hasilkan sendiri seperti ikan asin dan garam. Sebenarnya warga Baduy Dalam tidak boleh melakukan jual beli dengan uang dan hanya boleh melakukan barter, namun kini banyak warga Baduy Dalam membeli berbagai kebutuhan yang tak bisa mereka hasilkan sendiri dengan menggunakan uang. 

Saat saya bertanya apakah tidak capek harus jauh-jauh membeli keperluan dari Baduy Dalam ke Ciboleger ternyata dengan malu-malu para remaja Baduy Dalam tersebut mengaku sangat senang bisa ke Ciboleger. Walau jauh tetapi mereka bisa menonton TV sebentar di rumah penduduk Ciboleger. Ternyata isolasi yang tercipta tidak mampu menutupi hasrat para remaja akan teknologi. Bedanya para remaja ini tahu batasan dan menjadikan teknologi sebagai sesuatu yang bisa mempermanis hidup namun tidak membiarkan dirinya diperhamba oleh teknologi.


[caption caption="Suku Baduy Luar biasanya berjualan hasil kerajinan untuk para wisatawan (dokpri Rahayu)"]

[/caption]

[caption caption="Remaja wanita Suku Baduy Dalam (dokpri Rahayu)"]

[/caption]

[caption caption="Remaja pria Suku Baduy Dalam (dokpri Rahayu)"]

[/caption]

Pengalaman sehari berada di perkampungan Baduy mengajarkan saya banyak hal tentang kehidupan. Betapa Suku Baduy yang terkenal primitif inilah yang ternyata mampu memberikan saya kesempatan menikmati kesegaran alam yang menyatu dengan keagungan budaya yang terus terjaga sehingga bisa memberikan saya sebuah kesempatan langka yang tidak bisa didapatkan di mana pun di muka bumi. 

Budaya suku Baduy khususnya Baduy Dalam yang ternyata tidak tergerus gempuran modernitas dan globalisasi inilah yang menjadi sebuah magnet yang demikian kuatnya menarik saya untuk datang berkunjung. Demikianlah seharusnya Bangsa kita harus banyak belajar dari suku Baduy ini yang berani berbeda sehingga keunikannya mampu menggetarkan hati para wisatawan untuk datang berkunjung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun