Mohon tunggu...
Rahayu Damanik
Rahayu Damanik Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu Rumah Tangga

Best in Specific Interest Kompasianival 2016

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menghirup Eksistensi Budaya dan Kemurnian Alam Baduy di Tengah Gempuran Arus Modernisasi

3 April 2016   23:25 Diperbarui: 29 Agustus 2016   12:05 620
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malam terus merangkak, suara jangkrik dan burung hantu semakin jelas terdengar. Udara di luar masih cukup dingin karena kucuran hujan, namun suasana di dalam rumah adat Baduy Pak Karim sungguh hangat dan sangat pas untuk kenyamanan tidur saya sehingga bisa terlelap sampai subuh. Pagi hari saat saya terbangun suasana masih sangat sepi. Pak Karim, istri, anak-anak, kang Uha, dan suami saya masih tertidur lelap. Hanya terdengar suara jangkrik, tokek, dan burung hantu di kejauhan. Hening senyap, peristiwa langka yang tidak akan  saya dapatkan di  kota.

Saya, suami, dan kang Uha melanjutkan perjalanan ke perkampungan Baduy yang lebih dalam lagi tepat pukul 04.30. “Hati-hati di jalan ya” demikian pesan Pak Karim setelah kami berjabat tangan dan mengucapkan salam perpisahan. Kami harus berangkat pagi-pagi buta ke perkampungan Baduy yang lebih dalam karena tidak ingin tertinggal bus terakhir yang paling lama berangkat pukul 13.00 dari Ciboleger menuju Rangkas Bitung.

Suasana hutan menuju perkampungan Baduy masih gelap mencekam dan hanya mengandalkan senter kecil. Jalanan setapak basah, licin, becek, berlumpur dan sangat banyak tanjakan dengan kemiringan mencapai 45 sampai 60 derajat yang membuat saya cukup ngos-ngosan. Untungnya saya tidak perlu membawa ransel karena sudah dibawakan suami. 

Namun suasana yang masih sangat gelap serta tanah dan bebatuan licin sering kali membuat saya nyaris tergelincir. Sangat dag dig dug karena saat disenter ternyata di kiri kanan ada jurang yang dalam. “Hati-hati, Christo dan Jessi menunggu di rumah!” Ledek suami yang berjalan persis di belakang saya. Saya berusaha menikmati perjalanan sambil menghirup senyapnya suasana hutan. Hanya terdengar suara alam dari desauan angin yang menerpa dedauanan dan suara burung yang bersahut-sahutan dengan lengkingan suara jangkrik. Sesekali terdengar suara gemericik air membelah bebatuan yang pasrah dalam keheningan menjelang fajar.

Bila melihat jalan yang datar saya senang sekali namun sayangnya hanya sedikit yang demikian. Kebanyakan jalan yang ditempuh berbentuk tanjakan atau turunan. Mental saya benar-benar ciut khususnya saat tanjakan, rasanya tidak sanggup. Area tanjakannya sungguh tidak tanggung-tanggung bisa membutuhkan waktu sampai setengah jam untuk menemukan jalan yang berbentuk datar atau menurun. Jantung berdetak sangat kencang, bahkan saya bisa mendengarkan suara degup jantung saya sendiri. 

Saya berpikir di dalam hati, sanggupkah saya melanjutkan perjalanan? Tampaknya suami bisa membaca isi pikiran saya, “Push your limit!” katanya menyemangati. Saya tidak sadar sudah beberapa kali bertanya ke kang Uha tentang berapa lama perjalanan yang akan kami tempuh. Kang Uha tidak pernah memberi jawaban yang pasti dan selalu berkata tidak terlalu lama asalkan bisa jalan cepat.


Teringat perjalanan sewaktu remaja dulu mendaki gunung Sibayak di Berastagi Sumatera Utara. Rasanya tidak seekstrim ini karena kalau mendaki gunung itu pasti awalnya akan selalu naik dan jalannya tidak berbatu-batu. Saat turun gunung, jalanannya pasti akan selalu menurun sehingga sasaran kita tampak jelas. Bila menyusuri jalan menuju perkampungan Baduy ini saya merasa cukup berat karena jalannya naik turun bukit dan seolah tiada ujungnya. Setelah sekian lama berjalan kaki, jantung saya sudah mulai terbiasa dan malah menikmati pemandangan hutan, pegunungan, dan sungai yang sudah mulai terlihat karena matahari sedikit demi sedikit menampakkan wujudnya. Saya dan suami bergantian memfoto pemandangan eksotis yang luar biasa.

Saya menghirup dalam-dalam udara segar perkampungan Baduy. Terasa demikian segarnya menyusup ke dalam paru-paru sebelum dialirkan jauh ke seluruh tubuh. Sangat berbeda dengan udara pekat yang begitu menyesakkan dada sehingga terpaksa menggunakan masker bila melewati jalan raya yang membelah Ibu Kota. 

Kesegaran udara yang kami nikmati salah satunya karena pantangan suku Baduy menggunakan alat transportasi sehingga kita tidak akan menghirup asap dari knalpot bahkan asap rokok sekalipun karena Baduy Dalam dilarang merokok. Hanya boleh makan sirih. Sungguh suatu budaya yang berperan besar mengurangi emisi CO2 penyebab pemanasan global.

Pak Karim mengatakan kalau Suku Baduy sangat menghargai hutan dan sangat mengerti kalau hutan harus dilindungi demi menjaga keseimbangan alam dan kejernihan sumber air. Kewajiban menjaga hutan ini berkaitan dengan konsep Baduy yang menjunjung warisan leluhur, “Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung atau panjang tidak boleh dipotong dan pendek tidak boleh disambung”. Suku Baduy khususnya Baduy Dalam menjunjung tinggi nilai budaya ini sehingga mengusahakan perubahan dengan sedikit mungkin atau tanpa perubahan sama sekali.

Sekitar pukul enam pagi saya menengadah ke langit, matahari tersipu malu mengintip dan menyapa kami dari balik hijaunya hutan bambu. Saya bahagia karena kini sudah mulai bisa menikmati alam Baduy. Kabut tipis menyelimuti langit, menambah pesona keindahan alam yang berselimutkan hamparan hutan nan hijau dihiasi aliran air sungai yang mengalir jernih nan tenang. Saat matahari terbit, kami sampai di jembatan bambu di kampung Gajeboh yang diciptakan dari rangkaian bambu besar dan panjang dengan konstruksi alami tanpa menggunakan paku sama sekali. Menaiki jembatan bambu yang berada persis di atas  sungai ini sungguh mendebarkan karena kalau naik di atasnya ada gerakan jembatan bergoyang ke kiri dan ke kanan sehingga membuat saya yang cukup takut dengan ketinggian tidak berani melihat ke bawah jembatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun