Mohon tunggu...
Rahayu Damanik
Rahayu Damanik Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu Rumah Tangga

Best in Specific Interest Kompasianival 2016

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menghirup Eksistensi Budaya dan Kemurnian Alam Baduy di Tengah Gempuran Arus Modernisasi

3 April 2016   23:25 Diperbarui: 29 Agustus 2016   12:05 620
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Jembatan bambu lain di perkampungan Baduy saat hari sudah terang (dokpri Rahayu)"]

[/caption]

[caption caption="Tempat sampah suku Baduy Luar (dokpri Rahayu)"]

[/caption]

[caption caption="Pak Sapri suku Baduy Dalam (dokpri Rahayu)"]

[/caption]

Pak Sapri melanjutkan cerita beliau kalau Suku Baduy juga dilarang untuk bersekolah karena mereka memiliki aktivitas adat yang cukup tinggi sebagai sarana belajar yang dianggap paling baik buat generasi Suku Baduy. Pak Sapri cukup lancar berbahasa Indonesia karena sudah sering berdialog dengan para wisatwan yang berkunjung ke perkampungan beliau. 

Ia juga sudah pernah diundang ke pameran budaya di Jakarta namun beliau tetap teguh memegang prinsip adat Baduy. Pak Sapri menjelaskan kalau di perkampungan Baduy Dalam sama sekali tidak boleh ada barang-barang yang modern, bahkan tidak boleh memfoto perkampungan Baduy Dalam sama sekali. Sebaliknya bila di perkampungan Baduy Luar, berfoto sudah diperbolehkan.

Pak Sapri menjelaskan kalau pernikahan di Baduy Dalam adalah dengan perjodohan. Perkawinan mereka hanya dengan satu istri dan seorang laki-laki tidak diperbolehkan menikah dengan wanita lain kecuali istri sudah meninggal. Ketatnya adat Baduy Dalam pengaturan pernikahan membuat angka perceraian di Baduy Dalam nyaris tidak ada. Bahkan salah satu hukum yang paling berat bagi warga Baduy Dalam adalah perzinahan. 


Boleh dikatakan Baduy sangat tidak toleran terhadap perzinahan sehingga bagi seorang suami Baduy Dalam yang berselingkuh dengan wanita Baduy Dalam yang biasanya lebih muda pasti akan dikeluarkan dari suku Baduy Dalam. Namun bila pelanggaran berupa kesalahan 'kecil' seperti diam-diam menaiki kendaraan saat bepergian akan diberikan hukuman lebih ringan. Pertama akan dipanggil oleh Jaro (kepala perkampungan), diberi peringatan, dan kemudian dimasukan ke dalam rumah tahanan adat selama 40 hari. 

Bila masa hukuman hampir selesai, sang pelanggar adat akan ditanya apakah dirinya masih mau berada di Baduy Dalam atau ingin dikeluarkan menjadi warga Baduy Luar. Rumah hukuman adat ini bentuknya bukan seperti penjara namun rumah biasa yang tetap memungkinkan ‘tahanan’ melakukan aktivitas harian sambil terus diberi bimbingan dan pelajaran adat. Pak Sapri kemudian menemani saya dan suami berjalan-jalan menunjukkan beberapa tempat khas suku Baduy seperti tempat menyimpan beras dan tempat menumbuk padi. Beliau menjawab semua pertanyaan saya dengan sabar sekali.

“Pak, bagaimana harapan Bapak untuk anak-anak Bapak kelak? Apakah Bapak ingin anak-anak Bapak tetap menjadi warga Baduy Dalam?” saya yakin Pak Sapri pasti 100% ingin anak-anaknya tetap menjadi warga Baduy Dalam yang menjunjung tinggi adat Baduy. Saya kaget bukan main ketika beliau menjawab kalau semua itu tergantung anaknya. Beliau tidak pernah memaksakan bagaimana anaknya ke depan karena sesuatu yang dipaksakan tidak akan baik hasilnya. 

Anak kedua beliau ternyata kini sudah keluar dari Baduy Dalam karena jatuh cinta pada handphone sehingga ingin hidup layaknya manusia modern lain. Pak Sapri yang sudah memiliki delapan orang anak ini membebaskan anak keduanya tersebut mengikuti kemauannya dengan pesan khusus, asalkan dia mampu menghidupi dirinya sendiri. Berjuang di luar tanah Baduy Dalam yang pasti demikian keras. Berbeda dengan Baduy Dalam yang sangat menjunjung tinggi budaya gotong royong dan memiliki hasil alam yang berlimpah karena tanah yang sangat subur.

Ada hal lain yang membuat saya takjub dimana Pak Sapri mengatakan kalau Suku Baduy tidak boleh menggunakan berbagai jenis pupuk. Artinya tidak ada pestisida, insektisida, hormon pertumbuhan, atau obat-obatan dalam mengolah tanaman di ladang mereka. Semua bahan pangan diolah secara alami seperti yang dilakukan nenek moyang sejak ratusan tahun yang lalu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun