Banyak warganet menilai keputusannya menonaktifkan kepala sekolah sebagai langkah gegabah, tanpa memahami bahwa tindakan tersebut bersifat administratif dan sementara.
Dalam logika publik digital yang cenderung hitam-putih, tindakan tegas terhadap kepala sekolah sering disalahartikan sebagai keberpihakan kepada siswa yang melanggar aturan.
Padahal, keputusan Andra Soni merupakan upaya menegakkan prinsip keadilan prosedural sambil memberi ruang bagi mediasi dan penyelidikan yang objektif.
Fenomena ini mencerminkan bias emosi publik yang terbentuk oleh narasi viral, bukan oleh pemahaman kontekstual. Media sosial sering kali beroperasi sebagai ruang "pengadilan moral" tanpa hakim dan tanpa berkas perkara.
Dalam kasus ini, Andra Soni menjadi korban dari ketidakseimbangan persepsi: ketika publik menuntut pemimpin bertindak tegas, tetapi sekaligus mencela ketika ketegasan itu tidak sejalan dengan sentimen mayoritas.
Di sinilah ironi ruang publik digital bekerja--rasionalitas tenggelam dalam arus emosi, dan kebijakan bijak kerap kehilangan tempatnya di tengah kebisingan algoritma.
Gubernur Andra Soni dan Logika Etika Kebijakan
Langkah Gubernur Banten, Andra Soni, yang menonaktifkan sementara kepala sekolah sambil memediasi persoalan ini adalah langkah yang tepat dan proporsional.
Dalam konteks governance ethics, keputusan ini mencerminkan prinsip keadilan restorative--menghentikan rantai kekerasan sambil memberi ruang untuk refleksi dan penyelesaian secara adil.
Keputusan tersebut bukan bentuk penghukuman semata, melainkan upaya menegakkan akuntabilitas publik.
Di tengah derasnya tekanan opini masyarakat yang terbelah, Gubernur memilih jalan tengah yang rasional: mengutamakan penyelidikan, mendengarkan semua pihak, dan memulihkan kepercayaan publik terhadap sistem pendidikan daerah.