Kekerasan fisik di dunia pendidikan, dengan alasan apapun, tidak dapat dibenarkan. Begitu juga dengan perilaku siswa yang merokok di lingkungan sekolah juga tidak bisa dibiarkan.
Peristiwa penamparan seorang siswa oleh kepala sekolah di SMAN 1 Cimarga, Lebak, Banten pada 10 Oktober 2025 menjadi potret buram dunia pendidikan kita.
Sontak selasar media sosial menjadi gaduh. Reaksi publik pun terbelah: sebagian membela kepala sekolah karena dianggap mendidik dengan disiplin keras, sebagian lain mengecamnya karena menormalisasi kekerasan dalam dunia pendidikan.
Kasus ini memperlihatkan bagaimana emosi moral bisa melampaui rasionalitas profesional seorang pendidik.
Kepala sekolah yang sejatinya menjadi teladan, tergelincir dalam tindakan impulsif yang mencederai prinsip pendidikan humanistik.
Namun, di sisi lain, perilaku siswa yang merokok juga jelas merupakan pelanggaran tata tertib yang tidak bisa dibenarkan. Dua kesalahan ini berkelindan dalam satu panggung publik yang sarat emosi.
Kekerasan dan Disiplin dalam Perspektif Sosiologis
Dalam teori sosiologi pendidikan, Emile Durkheim menegaskan bahwa pendidikan adalah sarana pembentukan kesadaran moral dan kolektif. Disiplin, bagi Durkheim, adalah mekanisme untuk menanamkan keteraturan sosial.
Namun, disiplin yang berakar pada kekerasan justru akan mengikis legitimasi moral dari otoritas pendidikan itu sendiri.
Sosiolog kontemporer seperti Michel Foucault dalam Discipline and Punish (1975) menjelaskan bahwa kekuasaan dalam lembaga pendidikan bukan hanya soal hukuman fisik, tetapi tentang pengawasan dan pembentukan perilaku melalui dispositif atau mekanisme kontrol sosial yang halus.
Dalam konteks ini, tamparan kepala sekolah di SMAN 1 Cimarga menunjukkan bentuk kekuasaan yang sudah usang--yakni kekuasaan yang bekerja lewat tubuh, bukan lewat kesadaran.
Kekerasan, sekecil apapun, mengubah ruang sekolah menjadi ruang ketakutan, bukan pembelajaran. Padahal, sekolah semestinya menjadi arena sosialisasi nilai, bukan tempat penegakan disiplin lewat rasa takut.
Secara hukum, kekerasan fisik terhadap siswa tidak dibenarkan dalam kondisi apapun, sesuai Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
Termasuk juga, Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Satuan Pendidikan.
Siswa Merokok: Simbol Resistensi atau Kegagalan Sosialisasi?
Sementara itu, perilaku siswa yang merokok tidak bisa diabaikan sebagai "pelanggaran kecil."
Dari aspek hukum, perilaku siswa yang merokok juga merupakan pelanggaran hukum administratif dan etika pendidikan, sebagaimana diatur dalam PP 109/2012 Tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan
Larangan merokok bagi siswa juga tertuang dalam Instruksi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2023 Tentang Implementasi Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Satuan Pendidikan.
Selain itu, banyak daerah, termasuk Provinsi Banten, memiliki Perda tentang Kawasan Tanpa Rokok, yang memperkuat penerapan PP No. 109/2012 di tingkat lokal.
Misalnya, Perda Provinsi Banten Nomor 7 Tahun 2017 tentang Kawasan Tanpa Rokok, yang juga melarang aktivitas merokok di lingkungan pendidikan dan memberikan sanksi administratif bagi pelanggar.
Dalam perspektif pendidikan karakter, perilaku merokok siswa ini menunjukkan adanya moral disengagement--sebuah kondisi di mana individu tidak lagi merasakan rasa bersalah terhadap pelanggaran aturan sosial.
Albert Bandura dalam teorinya tentang social learning menjelaskan bahwa perilaku menyimpang sering kali dipelajari melalui model sosial di lingkungan sekitar--baik itu teman sebaya, orang tua, maupun figur publik.
Jika lingkungan sosial menormalisasi perilaku seperti merokok, maka sekolah punya tanggung jawab ganda: bukan hanya menegakkan aturan, tetapi juga membangun kesadaran moral lewat keteladanan dan pendekatan dialogis.
Dengan kata lain, siswa yang merokok bukan sekadar pelanggar aturan, tetapi juga produk dari proses sosial yang gagal menanamkan nilai-nilai kesehatan dan kedisiplinan sejak dini.
Selain merokok, perilaku menyimpang lain yang kerap muncul di kalangan siswa adalah membolos atau kabur dari sekolah saat jam pelajaran berlangsung.
Fenomena ini sering dianggap sebagai bentuk "pemberontakan kecil" terhadap otoritas sekolah, padahal sesungguhnya menandakan kegagalan dalam proses internalisasi nilai disiplin.
Dalam konteks teori social learning Bandura, tindakan membolos tidak terjadi secara spontan--ia dipelajari dan ditiru dari lingkungan sosial yang permisif, baik dari teman sebaya maupun budaya populer yang menormalisasi ketidakteraturan sebagai bentuk kebebasan.
Sama seperti merokok, perilaku membolos mencerminkan adanya defisit sosialisasi nilai, di mana siswa belum sepenuhnya memahami konsekuensi sosial dari tindakannya.
Ketika sekolah hanya berfokus pada penegakan aturan tanpa menyentuh dimensi moral dan psikologis di balik pelanggaran tersebut, maka pendidikan berubah menjadi ritual administratif, bukan proses pembentukan karakter.
Di sinilah letak tantangan utama pendidikan modern: menanamkan disiplin tanpa menindas, dan menumbuhkan kebebasan tanpa kehilangan tanggung jawab.
Ramai-ramai menghakimi Andra Soni
Gelombang opini di media sosial pasca-penonaktifan kepala sekolah SMAN 1 Cimarga justru berbalik arah, bukan pada persoalan utama kekerasan dan pelanggaran disiplin, melainkan pada sosok Gubernur Andra Soni.
Banyak warganet menilai keputusannya menonaktifkan kepala sekolah sebagai langkah gegabah, tanpa memahami bahwa tindakan tersebut bersifat administratif dan sementara.
Dalam logika publik digital yang cenderung hitam-putih, tindakan tegas terhadap kepala sekolah sering disalahartikan sebagai keberpihakan kepada siswa yang melanggar aturan.
Padahal, keputusan Andra Soni merupakan upaya menegakkan prinsip keadilan prosedural sambil memberi ruang bagi mediasi dan penyelidikan yang objektif.
Fenomena ini mencerminkan bias emosi publik yang terbentuk oleh narasi viral, bukan oleh pemahaman kontekstual. Media sosial sering kali beroperasi sebagai ruang "pengadilan moral" tanpa hakim dan tanpa berkas perkara.
Dalam kasus ini, Andra Soni menjadi korban dari ketidakseimbangan persepsi: ketika publik menuntut pemimpin bertindak tegas, tetapi sekaligus mencela ketika ketegasan itu tidak sejalan dengan sentimen mayoritas.
Di sinilah ironi ruang publik digital bekerja--rasionalitas tenggelam dalam arus emosi, dan kebijakan bijak kerap kehilangan tempatnya di tengah kebisingan algoritma.
Gubernur Andra Soni dan Logika Etika Kebijakan
Langkah Gubernur Banten, Andra Soni, yang menonaktifkan sementara kepala sekolah sambil memediasi persoalan ini adalah langkah yang tepat dan proporsional.
Dalam konteks governance ethics, keputusan ini mencerminkan prinsip keadilan restorative--menghentikan rantai kekerasan sambil memberi ruang untuk refleksi dan penyelesaian secara adil.
Keputusan tersebut bukan bentuk penghukuman semata, melainkan upaya menegakkan akuntabilitas publik.
Di tengah derasnya tekanan opini masyarakat yang terbelah, Gubernur memilih jalan tengah yang rasional: mengutamakan penyelidikan, mendengarkan semua pihak, dan memulihkan kepercayaan publik terhadap sistem pendidikan daerah.
Namun, langkah bijak ini justru berbalik menyerang dirinya di media sosial.Â
Fenomena ini dapat dibaca melalui teori ruang publik Jurgen Habermas--bahwa dalam era digital, ruang diskusi publik sering kali berubah menjadi arena trial by netizen yang penuh emosi dan minim rasionalitas.
Pendidikan Kita di Persimpangan Moral
Kasus Cimarga bukan sekadar konflik antara guru dan murid, tetapi juga refleksi krisis moralitas pendidikan nasional: di satu sisi ada krisis wibawa pendidik, di sisi lain ada krisis etika peserta didik. Pendidikan kini berada di persimpangan antara otoritas moral dan hak asasi individu.
Pendidikan yang sehat membutuhkan keseimbangan antara ketegasan dan kasih sayang, antara aturan dan empati.
Kekerasan hanya akan memperdalam jarak emosional antara pendidik dan peserta didik. Sebaliknya, kelonggaran tanpa aturan akan menumbuhkan generasi yang permisif dan apatis terhadap nilai-nilai sosial.
Rekomendasi: Jalan Tengah bagi Dunia Pendidikan
Ada beberapa langkah realistis yang dapat diambil dari kasus ini:
- Restorasi Etika Pendidikan.
Sekolah perlu memperkuat pendidikan karakter dengan pendekatan restorative discipline--yakni menegakkan aturan dengan cara yang membangun kesadaran, bukan ketakutan. - Pelatihan Manajemen Emosi bagi Kepala Sekolah dan Guru.
Pemerintah daerah perlu menjadikan emotional intelligence training sebagai bagian dari pengembangan kompetensi pendidik. - Revitalisasi Tata Tertib Sekolah.
Tata tertib harus ditegakkan secara konsisten dengan mekanisme sanksi yang mendidik, bukan menghukum. - Keterlibatan Komunitas dan Orang Tua.
Pencegahan perilaku seperti merokok harus melibatkan keluarga dan masyarakat agar nilai yang diajarkan di sekolah tidak terputus di luar tembok kelas.
Tamparan sebagai Cermin Sosial
Kasus di SMAN 1 Cimarga adalah tamparan--bukan hanya bagi siswa atau kepala sekolah, tetapi bagi seluruh sistem pendidikan kita.
Ia menampar kesadaran kita bahwa mendidik tidak bisa dilakukan dengan tangan, melainkan dengan pikiran dan hati.
Tugas Gubernur Andra Soni bukan hanya menengahi persoalan administratif, tetapi juga mengembalikan martabat pendidikan Banten sebagai ruang yang aman dan beradab.
Sebab pada akhirnya, pendidikan bukan soal siapa yang salah dan siapa yang benar, tetapi siapa yang mau belajar dari kesalahan itu.
Adilah sejak dalam pikiran, sebelum kita menghakimi Andra Soni...
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI