Albert Bandura dalam teorinya tentang social learning menjelaskan bahwa perilaku menyimpang sering kali dipelajari melalui model sosial di lingkungan sekitar--baik itu teman sebaya, orang tua, maupun figur publik.
Jika lingkungan sosial menormalisasi perilaku seperti merokok, maka sekolah punya tanggung jawab ganda: bukan hanya menegakkan aturan, tetapi juga membangun kesadaran moral lewat keteladanan dan pendekatan dialogis.
Dengan kata lain, siswa yang merokok bukan sekadar pelanggar aturan, tetapi juga produk dari proses sosial yang gagal menanamkan nilai-nilai kesehatan dan kedisiplinan sejak dini.
Selain merokok, perilaku menyimpang lain yang kerap muncul di kalangan siswa adalah membolos atau kabur dari sekolah saat jam pelajaran berlangsung.
Fenomena ini sering dianggap sebagai bentuk "pemberontakan kecil" terhadap otoritas sekolah, padahal sesungguhnya menandakan kegagalan dalam proses internalisasi nilai disiplin.
Dalam konteks teori social learning Bandura, tindakan membolos tidak terjadi secara spontan--ia dipelajari dan ditiru dari lingkungan sosial yang permisif, baik dari teman sebaya maupun budaya populer yang menormalisasi ketidakteraturan sebagai bentuk kebebasan.
Sama seperti merokok, perilaku membolos mencerminkan adanya defisit sosialisasi nilai, di mana siswa belum sepenuhnya memahami konsekuensi sosial dari tindakannya.
Ketika sekolah hanya berfokus pada penegakan aturan tanpa menyentuh dimensi moral dan psikologis di balik pelanggaran tersebut, maka pendidikan berubah menjadi ritual administratif, bukan proses pembentukan karakter.
Di sinilah letak tantangan utama pendidikan modern: menanamkan disiplin tanpa menindas, dan menumbuhkan kebebasan tanpa kehilangan tanggung jawab.
Ramai-ramai menghakimi Andra Soni
Gelombang opini di media sosial pasca-penonaktifan kepala sekolah SMAN 1 Cimarga justru berbalik arah, bukan pada persoalan utama kekerasan dan pelanggaran disiplin, melainkan pada sosok Gubernur Andra Soni.