Luka tak tampak dalam dunia yang bising. Ketika ekonomi global merosot dan perang berkecamuk di berbagai belahan dunia, kesehatan mental menjadi isu yang tak lagi bisa ditempatkan di pinggir kebijakan publik.
Di balik kemajuan peradaban modern, terdapat paradoks yang menganga: semakin tinggi produktivitas manusia, semakin rapuh pula kesehatannya.
Kapitalisme modern, dengan logika kompetisi dan efisiensi tanpa henti, telah menempatkan individu dalam pusaran tekanan yang seolah tiada ujung. Segalanya diukur dengan kinerja, angka, dan citra, sementara ruang untuk jeda, refleksi, dan empati kian menyempit.
Dalam masyarakat yang digerakkan oleh pasar, kegelisahan bukan lagi penyimpangan--ia menjadi bagian dari ritme hidup itu sendiri.
Fenomena tingginya gangguan kesehatan mental, sebagaimana dicatat WHO (2021), bukan sekadar gejala medis, tetapi konsekuensi struktural dari sistem sosial-ekonomi yang menuntut manusia berlari lebih cepat dari kapasitas jiwanya.
Karl Marx menyebutnya alienasi manusia modern--terpisah dari makna kerja dan esensi dirinya. Di era digital dan ekonomi neoliberal, alienasi itu bermetamorfosis menjadi bentuk-bentuk baru: burnout, kecemasan eksistensial, dan depresi yang tak kasat mata.
Kapitalisme global bukan hanya membentuk pasar tenaga kerja, tetapi juga lanskap batin manusia: kompetitif, lelah, dan terasing.
Sejalan dengan Marx, Michael Marmot (2005), menegaskan bahwa kesehatan mental tidak hanya produk faktor biologis, melainkan hasil interaksi kondisi sosial-ekonomi, budaya, dan lingkungan. Ketimpangan ekonomi memperburuk akses layanan kesehatan mental dan meningkatkan risiko gangguan psikis.
Dalam situasi yang demikian, tidak berlebihan ketika WHO memilih tema "Mental Health in Humanitarian Emergencies" atau "Kesehatan Mental dalam Keadaan Darurat Kemanusiaan" pada peringatan World Mental Health Day 2025, yang jatuh pada hari ini, 10 Oktober.
Kesehatan mental kini menjadi persoalan kemanusiaan dan pembangunan global. Menurut World Health Organization (WHO, 2022), sekitar 14% populasi dunia setara dengan 1,1 miliar orang, hidup dengan gangguan mental.