Mohon tunggu...
Tino Rahardian
Tino Rahardian Mohon Tunggu... Peneliti Senior Swarna Dwipa Institute (SDI)

Sosialisme Indonesia. Secangkir kopi. Buku. Puncak gunung. "Jika takdir menghendakimu kalah, berikanlah dia perlawanan yang terbaik" [William McFee].

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menjadi "Bapak Rumah Tangga", Saatnya Menyusun Ulang Konsep Maskulinitas

9 Oktober 2025   17:44 Diperbarui: 9 Oktober 2025   19:01 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fenomena serupa pernah muncul di Jepang pada era Heisei slump (1990-an), ketika banyak pria kehilangan pekerjaan akibat krisis ekonomi dan perempuan mulai mendominasi sektor kerja administratif.

Di Amerika Serikat, pandemi COVID-19 mempercepat fenomena serupa, di mana jutaan pria meninggalkan pekerjaan penuh tekanan dan memilih mendukung keluarga dari rumah.

Tantangan Sosial: Antara Stigma dan Keterasingan

Namun jalan menjadi "bapak rumah tangga" di masyarakat Asia tidaklah mudah. Norma patriarkal masih kuat; banyak yang menganggap pria yang tidak bekerja sebagai "malas" atau "tidak bertanggung jawab".

Tekanan sosial ini sering memunculkan perasaan rendah diri, stres, dan isolasi sosial.

Di Tiongkok, penelitian oleh Peking University (2023) menunjukkan bahwa 63% pria yang menjadi stay-at-home dads merasa tidak diakui oleh lingkungan sosialnya.

Di Indonesia, kondisi serupa terjadi: pekerjaan rumah tangga masih dianggap "kerja perempuan". Padahal, secara psikologis dan sosiologis, berbagi peran domestik justru memperkuat kohesi keluarga dan mengurangi konflik rumah tangga.

Jika ditarik ke teori Emile Durkheim, fenomena ini bisa dilihat sebagai bentuk anomie--ketika norma-norma sosial lama tidak lagi sejalan dengan realitas ekonomi baru.

Namun berbeda dari bentuk anomie klasik yang menghasilkan disintegrasi, pilihan menjadi bapak rumah tangga justru menunjukkan bentuk reintegrasi sosial baru.

Sementara itu, dari kacamata teori Pierre Bourdieu, munculnya stay-at-home dads mencerminkan pergeseran habitus dalam kelas menengah urban: cara berpikir dan bertindak yang dulu maskulin-ekonomis kini bergeser menjadi relasional-afektif.

Nilai baru ini memperlihatkan bahwa capital tidak hanya ekonomi, tetapi juga sosial dan kultural.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun