Fenomena serupa pernah muncul di Jepang pada era Heisei slump (1990-an), ketika banyak pria kehilangan pekerjaan akibat krisis ekonomi dan perempuan mulai mendominasi sektor kerja administratif.
Di Amerika Serikat, pandemi COVID-19 mempercepat fenomena serupa, di mana jutaan pria meninggalkan pekerjaan penuh tekanan dan memilih mendukung keluarga dari rumah.
Tantangan Sosial: Antara Stigma dan Keterasingan
Namun jalan menjadi "bapak rumah tangga" di masyarakat Asia tidaklah mudah. Norma patriarkal masih kuat; banyak yang menganggap pria yang tidak bekerja sebagai "malas" atau "tidak bertanggung jawab".
Tekanan sosial ini sering memunculkan perasaan rendah diri, stres, dan isolasi sosial.
Di Tiongkok, penelitian oleh Peking University (2023) menunjukkan bahwa 63% pria yang menjadi stay-at-home dads merasa tidak diakui oleh lingkungan sosialnya.
Di Indonesia, kondisi serupa terjadi: pekerjaan rumah tangga masih dianggap "kerja perempuan". Padahal, secara psikologis dan sosiologis, berbagi peran domestik justru memperkuat kohesi keluarga dan mengurangi konflik rumah tangga.
Jika ditarik ke teori Emile Durkheim, fenomena ini bisa dilihat sebagai bentuk anomie--ketika norma-norma sosial lama tidak lagi sejalan dengan realitas ekonomi baru.
Namun berbeda dari bentuk anomie klasik yang menghasilkan disintegrasi, pilihan menjadi bapak rumah tangga justru menunjukkan bentuk reintegrasi sosial baru.
Sementara itu, dari kacamata teori Pierre Bourdieu, munculnya stay-at-home dads mencerminkan pergeseran habitus dalam kelas menengah urban: cara berpikir dan bertindak yang dulu maskulin-ekonomis kini bergeser menjadi relasional-afektif.
Nilai baru ini memperlihatkan bahwa capital tidak hanya ekonomi, tetapi juga sosial dan kultural.