Pria-pria ini tidak lagi mengukur keberhasilan dari pendapatan atau jabatan, melainkan dari ketenangan dan keseimbangan hidup.
Antara Maskulinitas dan Struktur Ekonomi
Dalam perspektif sosiologi, fenomena pria yang memilih menjadi bapak rumah tangga bukan sekadar persoalan pilihan pribadi, melainkan refleksi dari perubahan struktur ekonomi dan nilai-nilai sosial yang mendasarinya.Â
Selama puluhan tahun, masyarakat modern termasuk di Asia, dibangun di atas model keluarga industrial yang menempatkan laki-laki sebagai pencari nafkah utama (breadwinner) dan perempuan sebagai pengasuh rumah tangga (caregiver).Â
Namun model ini kini mulai rapuh, terutama ketika pasar kerja menjadi semakin tidak stabil dan biaya hidup semakin tinggi.
R.W. Connell (1995) dalam teori hegemonic masculinity menegaskan bahwa maskulinitas hegemonik selalu terbentuk oleh konteks ekonomi dan kekuasaan.Â
Ketika dunia kerja bergeser menuju sektor jasa, digital, dan informal yang tidak lagi mengutamakan kekuatan fisik atau loyalitas jangka panjang, keunggulan tradisional laki-laki dalam ruang publik ikut memudar.Â
Pria yang dulu diidentifikasi dengan stabilitas dan otoritas kini dihadapkan pada ketidakpastian kontrak kerja, tekanan performa, dan tuntutan produktivitas yang nyaris tanpa batas.
Dalam kondisi ini, banyak laki-laki mengalami "krisis maskulinitas"--sebuah kondisi di mana ekspektasi sosial terhadap peran pria tidak lagi sesuai dengan realitas ekonomi yang mereka hadapi.Â
Fenomena ini tak hanya terjadi di Tiongkok. Di Amerika Serikat, Pew Research Center (2022) mencatat peningkatan signifikan jumlah stay-at-home fathers, yang naik hampir dua kali lipat sejak dua dekade lalu.Â
Penyebabnya bukan sekadar preferensi pribadi, melainkan dampak langsung dari kehilangan pekerjaan dan tekanan sosial ekonomi pasca pandemi.