Keracunan berulang dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) menyingkap rapuhnya pengawasan kebijakan publik di Indonesia. Pemerintah memang merespons cepat, tetapi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI justru kurang optimal menunjukkan sikap kritisnya sebagai sebuah lembaga reprentasi daerah.
Kelemahan ini mempertegas defisit representasi daerah dalam kebijakan nasional, terutama bila dibandingkan dengan peran senat di negara lain yang jauh lebih aktif dan substantif.
Pertanyaan yang paling mudah diajukan di sini adalah: kemana para anggota DPD RI saat 10.482 anak mengalami keracunan (Kompas, 6/10/2025) yang tersebar di puluhan provinsi?
Ketiadaan sikap kritis DPD justru menegaskan kelemahan struktural lembaga ini dalam memperjuangkan aspirasi daerah.
MBG sebagai Isu Kebijakan Publik Strategis
MBG tidak hanya soal pangan dan gizi, tetapi juga terkait tata kelola kebijakan publik atau Good Governance yang dalam literatur akademik harus mengedepankan transparansi, akuntabilitas, partisipasi publik, penegakan hukum, efektivitas dan efisiensi, responsivitas, dan sebagainya.
Keterlibatan banyak aktor--pemerintah pusat, TNI-Polri, SPPG, sekolah, penyedia jasa katering, hingga masyarakat--menjadikan program ini kompleks.
Keracunan berulang akibat MBG menunjukkan adanya masalah sistemik: lemahnya standar distribusi, kurangnya pengawasan, dan ketidakseragaman kualitas antar daerah.
Dengan sifatnya yang lintas daerah, DPD seharusnya berperan vital dalam menjembatani persoalan lokal dengan kebijakan nasional.
Kelemahan Peran DPD RI dalam Pengawasan Program MBG