Namun, dalam kasus MBG, sebagian anggota DPD hanya menyampaikan tanggapan terbatas di media sosial, tanpa ditindaklanjuti dalam bentuk keputusan institusional. Belum terlihat aksi advokasi bagi daerah yang terdampak keracunan.
Tidak terlihat adanya pernyataan resmi kelembagaan, pembentukan tim investigasi daerah, ataupun langkah konkret berupa sidang dengar pendapat dengan kementerian/lembaga dan pemerintah daerah terkait.
Berdasarkan gambaran tersebut, setidaknya ada tiga kelemahan mendasar yang tampak:
- Keterbatasan fungsi legislasi: DPD tidak memiliki kewenangan penuh dalam membuat undang-undang, sehingga lebih banyak bergantung pada DPR.
- Kultur politik pasif:Â DPD sering kali tidak menggunakan isu publik untuk memperkuat legitimasi politiknya, sehingga terkesan sekadar lembaga pelengkap.
- Minimnya advokasi daerah:Â meskipun setiap anggota DPD berasal dari daerah, tidak ada dorongan sistematis untuk membangun mekanisme kontrol kebijakan MBG yang berbasis lokal.
Merujuk pada teori representasi politik Hannah Pitkin, representasi bukan hanya soal kehadiran fisik, melainkan juga soal acting for--bertindak untuk kepentingan yang diwakili.
Dalam kasus MBG, DPD gagal menunjukkan dimensi substantif representasi. Kehadiran anggota DPD dari berbagai daerah tidak otomatis menjamin keberpihakan pada rakyat, sebab sikap kritis yang seharusnya melekat justru absen.
Representasi seharusnya adalah kehadiran DPD dalam setiap kesulitan yang dialami oleh warganya.
Ketiadaan peran aktif dalam isu MBG memperkuat argumen bahwa DPD hanyalah lembaga simbolik dengan relevansi politik yang terus merosot.
Perbandingan Internasional: Senat dalam Sistem Federal dan Desentralisasi
Contoh-contoh ini memang perlu dikaji lebih mendalam lagi terkait dengan perundang-undangan yang berlaku, namun setidaknya kita mendapatkan sedikit gambaran tentang arah perbaikan:
1. Amerika Serikat (Senate)
Senat AS memiliki kewenangan kuat dalam legislasi, termasuk isu-isu terkait pendidikan, kesehatan, dan pangan. Misalnya, dalam program National School Lunch Program (NSLP), Senat AS secara aktif mengawasi distribusi anggaran, kualitas makanan, dan keberlanjutan gizi. Senat juga rutin mengadakan hearing publik untuk memastikan suara masyarakat terserap ke dalam kebijakan.
2. Australia (Senate)
Senat Australia dikenal sebagai lembaga pengawas yang tangguh, sering menggunakan Senate Inquiry untuk menyelidiki pelaksanaan kebijakan. Dalam isu pangan sekolah, senat Australia tidak segan memanggil kementerian terkait serta mengaudit pelaksanaan program di tingkat negara bagian. Transparansi dan akuntabilitas menjadi landasan yang membuat peran senat signifikan.
3. Jerman (Bundesrat)
Bundesrat mewakili kepentingan negara bagian (Lander) dan memiliki kewenangan nyata dalam membahas kebijakan pendidikan dan kesehatan. Dalam isu pangan dan sekolah, Bundesrat dapat memblokir atau mengubah kebijakan federal yang dianggap tidak sesuai dengan kepentingan daerah. Hal ini membuat representasi daerah dalam kebijakan publik bersifat substantif, bukan seremonial.
Pelajaran untuk DPD RI
Dari perbandingan tersebut, setidaknya ada tiga pelajaran penting bagi DPD RI:
1. Kekuatan Inkuiri dan Pengawasan Publik
DPD seharusnya meniru praktik hearing di Senat AS atau inquiry di Australia untuk mengawasi langsung implementasi MBG, termasuk memanggil kementerian/lembaga terkait, penyedia jasa katering, hingga pemerintah daerah.
2. Posisi Tawar dalam Legislasi
Meski tidak memiliki kewenangan legislasi penuh, DPD dapat memperkuat posisinya melalui policy brief, rekomendasi resmi, dan membangun koalisi politik dengan DPR agar isu MBG mendapat perhatian serius.
3. Menjadi Penghubung Nyata Daerah-Pusat
DPD harus belajar dari Bundesrat Jerman dengan memanfaatkan basis daerah sebagai sumber legitimasi. Dalam konteks MBG, anggota DPD dapat membawa laporan faktual dari lapangan untuk mendesak pemerintah pusat membuat regulasi yang lebih sensitif terhadap kondisi daerah.