Sementara, indeks ketimpangan penguasaan tanah ada di angka 0,58 atau sekira 60 keluarga menguasai 26,8 juta ha (KPA, 2025).
Lebih mengkhawatirkan lagi, mayoritas petani di Indonesia sekarang berusia di atas 55 tahun, menunjukkan tren menua dan kurangnya regenerasi generasi muda di sektor pertanian.
Sementara hanya kurang dari 10 persen generasi muda yang bercita-cita menjadi petani. Proporsi petani muda (di bawah 44 tahun) menurun, sementara proporsi petani usia lanjut (55 tahun ke atas) meningkat.
Selain persoalan demografi usia, kajian terbaru tentang dinamika agraria di Jawa dan Indonesia bagian lain menunjukkan adanya fragmentasi kelas: munculnya petani kapitalis, pekerja tani upahan, serta kelompok petani kecil yang terus menyusut.
Proses ini dikaitkan dengan ketidakmerataan akses modal, intervensi pasar, dan kebijakan yang kurang memprioritaskan infrastruktur sosial (irigasi, akses kredit mikro yang adil, penyuluhan yang bebas konflik kepentingan).
Selain itu, isu regenerasi petani (kecenderungan anak muda meninggalkan pertanian) menuntut kebijakan proaktif--bukan hanya paket teknologi, tapi juga jaminan pasar, hak atas tanah yang jelas, dan pendidikan agribisnis yang realistis.
Studi lanskap multi-fungsi oleh Center for International Forestry Research and World Agroforestry (CIFOR-ICRAF) menyorot bagaimana konversi lahan dan skema komoditas mempengaruhi mata pencaharian, keanekaragaman hayati, dan ketahanan pangan lokal.
Menyusutnya jumlah petani di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa penyebab utama:
1. Alih fungsi lahan: setiap tahun sekitar 150 ribu hektare lahan sawah beralih fungsi menjadi kawasan industri, perumahan, dan infrastruktur. Hal ini membuat generasi muda melihat masa depan pertanian semakin sempit.
2. Rendahnya nilai ekonomi bertani:Â biaya produksi terus meningkat (pupuk, benih, pestisida), sementara harga jual gabah atau komoditas lainnya kerap jatuh pada musim panen raya.
3. Kurangnya akses tanah:Â distribusi kepemilikan lahan yang timpang membuat banyak petani muda hanya berstatus buruh tani tanpa lahan, sehingga tidak ada kepastian ekonomi jangka panjang.
4. Stigma sosial:Â bertani dianggap pekerjaan kotor dan tidak menjanjikan. Banyak keluarga desa mendorong anak-anak mereka merantau ke kota, meninggalkan sawah yang akhirnya terbengkalai atau dijual.
5. Kebijakan yang tidak regenerative:Â program bantuan pertanian lebih banyak bersifat jangka pendek (subsidi pupuk, bantuan bibit), bukan menciptakan skema regenerasi petani muda yang berkelanjutan.
Sejarawan agraria Tania Li, dalam kajiannya tentang petani Sulawesi, menyebut bahwa transformasi desa kerap ditandai oleh "peasant exit"--generasi muda meninggalkan lahan karena tidak ada insentif struktural untuk bertahan. Fenomena ini kini semakin nyata di Jawa, Sumatera, hingga Sulawesi.
Menurunnya jumlah petani bukan sekadar soal angka statistik, tetapi ancaman terhadap ketahanan pangan nasional. Ketika desa kehilangan generasi penerus, negara harus bersiap menghadapi ketergantungan impor pangan yang lebih tinggi.
Harold Brookfield dalam studinya menekankan bahwa degradasi agraria tidak hanya merusak ekologi, tetapi juga merusak social reproduction--yaitu keberlanjutan komunitas desa itu sendiri. Tanpa regenerasi petani, desa akan kehilangan fungsi sosialnya sebagai penopang masyarakat