Suatu hari di Bandung pada dekade 1920-an, Bung Karno bertemu seorang petani kecil bernama Marhaen. Dengan cangkul sederhana dan sebidang sawah sempit, Marhaen bekerja keras tanpa pernah benar-benar sejahtera.
Dari kisah masyhur itulah lahir istilah "kaum Marhaen"--simbol petani kecil yang menjadi tulang punggung bangsa, namun sekaligus potret paling nyata dari ketidakadilan agraria.
Puluhan tahun kemudian, pada setiap 24 September, kita memperingati Hari Tani Nasional. Namun pertanyaan yang menggantung: apakah nasib petani hari ini berbeda jauh dari kisah Marhaen tempo dulu?
Hari Tani Nasional selalu dikaitkan erat dengan lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960.
Pada awalnya, UUPA dirancang sebagai tonggak land reform--sebuah penataan ulang struktur kepemilikan tanah agar petani kecil mendapat tempat yang layak dalam perekonomian nasional.
Namun, lebih dari enam dekade kemudian, realitas yang kita hadapi jauh dari harapan. Hari Tani seringkali hanya berhenti pada ritual seremoni, bukan sebagai momen evaluasi atas nasib petani dan politik agraria kita yang kerap terjebak pada retorika.
Land reform sebagai janji yang belum tuntas
UUPA 1960 dirancang sebagai dokumen politis yang meredefinisi tanah sebagai sarana kesejahteraan rakyat, namun lebih dari enam dekade kemudian banyak janji utama itu belum tuntas direalisasikan.
Dari catatan empiris dan statistik terbaru terlihat paradoks struktural: sektor pertanian masih menyerap proporsi tenaga kerja yang besar (sekira seperempat hingga sepertiga dari total tenaga kerja pada berbagai ukuran), namun kontribusi pendapatan dan kesejahteraan petani relatif rendah dan rentan terhadap fluktuasi pasar dan iklim.
Data BPS dan publikasi statistik sektor pertanian memperlihatkan pertahanan peranan sektor ini dalam penyerapan tenaga kerja walau kontribusi PDB relatif menurun --sebuah sinyal bahwa sebagian besar petani masih berada pada ujung rantai nilai ekonomi agraria.
Clifford Geertz menulis konsep agricultural involution untuk mendeskripsikan proses intensifikasi produksi sawah yang menghasilkan kompleksitas sosial tanpa disertai perubahan teknologi dan struktur yang substansial--istilah ini relevan saat kita melihat bagaimana intensifikasi spasial dan tenaga kerja di banyak daerah seringkali bukan jaminan naiknya kesejahteraan petani.
Geertz memberi kerangka untuk memahami bagaimana modal sosial dan kerja keluarga berulang diperas menjadi upaya mempertahankan subsistensi tanpa transformasi agraria yang pro-rakyat.
James C. Scott menambahkan dimensi moral dan politik: petani tidak semata-mata pelaku ekonomi pasif--mereka dilandasi suatu "subsistence ethic" atau moral economy yang membuat mereka berhati-hati terhadap perubahan yang berisiko menggoyahkan ketahanan pangan keluarga.
Dalam konteks Indonesia, kebijakan yang memaksakan komersialisasi cepat atau perubahan tata guna lahan tanpa jaminan kompensasi/akses alternatif kerap menghasilkan ketegangan sosial dan resistensi halus (foot-dragging, sabotase, praktik informal).
Kerangka Scott relevan untuk menjelaskan mengapa program formal sering gagal merebut hati dan praktek komunitas tani.
Harold Brookfield dan studi tentang degradasi lahan juga menegaskan bahwa masalah ekologis di desa bukan sekadar masalah teknis--melainkan problem sosial: akses, penguasaan, dan pilihan politik pembangunan mempengaruhi kerentanan lahan dan kapasitas produksi jangka panjang.
Degradasi bukan terjadi dalam kekosongan: ia terkait dengan kebijakan perkebunan, alih fungsi lahan, dan hilangnya pengelolaan lokal yang berkelanjutan.
Menyusutnya Jumlah Petani
Salah satu krisis paling nyata yang dihadapi pertanian Indonesia saat ini adalah penurunan jumlah petani secara drastis.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan tren penurunan tenaga kerja di sektor pertanian. Jumlah petani mengalami penurunan sekitar 7,42% dalam 10 tahun terakhir dari 31,7 juta menjadi 29,34 juta unit usaha pertanian.
Bahkan, data lain menyebutkan bahwa jumlah petani gurem saat ini hanya sebesar 17 juta orang dengan upah buruh tani kuurang lebih Rp1,5 juta/bulan.
Sementara, indeks ketimpangan penguasaan tanah ada di angka 0,58 atau sekira 60 keluarga menguasai 26,8 juta ha (KPA, 2025).
Lebih mengkhawatirkan lagi, mayoritas petani di Indonesia sekarang berusia di atas 55 tahun, menunjukkan tren menua dan kurangnya regenerasi generasi muda di sektor pertanian.
Sementara hanya kurang dari 10 persen generasi muda yang bercita-cita menjadi petani. Proporsi petani muda (di bawah 44 tahun) menurun, sementara proporsi petani usia lanjut (55 tahun ke atas) meningkat.
Selain persoalan demografi usia, kajian terbaru tentang dinamika agraria di Jawa dan Indonesia bagian lain menunjukkan adanya fragmentasi kelas: munculnya petani kapitalis, pekerja tani upahan, serta kelompok petani kecil yang terus menyusut.
Proses ini dikaitkan dengan ketidakmerataan akses modal, intervensi pasar, dan kebijakan yang kurang memprioritaskan infrastruktur sosial (irigasi, akses kredit mikro yang adil, penyuluhan yang bebas konflik kepentingan).
Selain itu, isu regenerasi petani (kecenderungan anak muda meninggalkan pertanian) menuntut kebijakan proaktif--bukan hanya paket teknologi, tapi juga jaminan pasar, hak atas tanah yang jelas, dan pendidikan agribisnis yang realistis.
Studi lanskap multi-fungsi oleh Center for International Forestry Research and World Agroforestry (CIFOR-ICRAF) menyorot bagaimana konversi lahan dan skema komoditas mempengaruhi mata pencaharian, keanekaragaman hayati, dan ketahanan pangan lokal.
Menyusutnya jumlah petani di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa penyebab utama:
1. Alih fungsi lahan: setiap tahun sekitar 150 ribu hektare lahan sawah beralih fungsi menjadi kawasan industri, perumahan, dan infrastruktur. Hal ini membuat generasi muda melihat masa depan pertanian semakin sempit.
2. Rendahnya nilai ekonomi bertani:Â biaya produksi terus meningkat (pupuk, benih, pestisida), sementara harga jual gabah atau komoditas lainnya kerap jatuh pada musim panen raya.
3. Kurangnya akses tanah:Â distribusi kepemilikan lahan yang timpang membuat banyak petani muda hanya berstatus buruh tani tanpa lahan, sehingga tidak ada kepastian ekonomi jangka panjang.
4. Stigma sosial:Â bertani dianggap pekerjaan kotor dan tidak menjanjikan. Banyak keluarga desa mendorong anak-anak mereka merantau ke kota, meninggalkan sawah yang akhirnya terbengkalai atau dijual.
5. Kebijakan yang tidak regenerative:Â program bantuan pertanian lebih banyak bersifat jangka pendek (subsidi pupuk, bantuan bibit), bukan menciptakan skema regenerasi petani muda yang berkelanjutan.
Sejarawan agraria Tania Li, dalam kajiannya tentang petani Sulawesi, menyebut bahwa transformasi desa kerap ditandai oleh "peasant exit"--generasi muda meninggalkan lahan karena tidak ada insentif struktural untuk bertahan. Fenomena ini kini semakin nyata di Jawa, Sumatera, hingga Sulawesi.
Menurunnya jumlah petani bukan sekadar soal angka statistik, tetapi ancaman terhadap ketahanan pangan nasional. Ketika desa kehilangan generasi penerus, negara harus bersiap menghadapi ketergantungan impor pangan yang lebih tinggi.
Harold Brookfield dalam studinya menekankan bahwa degradasi agraria tidak hanya merusak ekologi, tetapi juga merusak social reproduction--yaitu keberlanjutan komunitas desa itu sendiri. Tanpa regenerasi petani, desa akan kehilangan fungsi sosialnya sebagai penopang masyarakat
Jalan Baru Kaum Marhaen: Dari program teknokratik ke politik agraria yang demokratis
Peringatan Hari Tani seharusnya menjadi momen pergeseran dari sekadar program teknis (substitusi pupuk, input) menuju politik agraria yang nyata, yaitu:
Redistribusi lahan yang dijalankan dengan mekanisme partisipatif; perlindungan harga minimum yang efektif; jaring pengaman sosial bagi musim panen buruk; pengakuan dan perlindungan terhadap hak ulayat dan praktik agroekologi; serta reformasi kelembagaan yang mengurangi peran oligopoli dalam rantai nilai.
Tanpa agenda kebijakan yang berani dan berpihak pada petani kecil, peringatan akan terus menjadi simbol formal belaka.
Argumen ini selaras dengan kritik akademik yang memandang modernisasi pertanian yang terlalu cepat sebagai resep berisiko--yang menghapus kemampuan adaptif lokal dan melemahkan institusi sosial desa.
Rekomendasi konstruktif dan prioritas kebijakan
1. Agenda redistributif nyata: percepatan sertifikasi tanah berbasis kebutuhan dan integrasi UUPA dengan program redistribusi; skema kontrak yang melindungi petani.
2. Regenerasi petani: pendidikan agribisnis, akses kredit tanpa bunga predator, serta program insentif untuk anak muda kembali ke desa.
3. Pasar yang adil:Â harga dasar yang realistis untuk komoditas pokok dan pembatasan praktek monopoli/kolusi dalam rantai distribusi.
4. Investasi publik desa:Â irigasi, fasilitas penyimpanan, dan layanan penyuluhan yang otonom dan bebas konflik kepentingan.
5. Penguatan agroekologi dan pengelolaan lanskap:Â subsidi diarahkan pada praktik yang meningkatkan ketahanan iklim dan lahan.
Penutup
Hari Tani Nasional dapat menjadi momen politik dan etis untuk menilai seberapa jauh republik ini memenuhi janji agraria yang tertuang sejak 1960.
Tanpa keberanian politik untuk merekonstruksi ulang tatanan agrarian--di mana tanah, pengetahuan, dan pasar ditempatkan kembali pada tujuan kesejahteraan--peringatan itu akan menjadi pengingat pahit atas kegagalan berulang.
Sebagaimana dikatakan Scott, "ketahanan petani terletak pada kemampuan mereka menghindari risiko kelaparan, bukan mengejar keuntungan maksimal."Â
Maka, tugas negara adalah memastikan bahwa tanah, pangan, dan masa depan pertanian tetap menjadi milik rakyat, bukan sekadar catatan dalam kalender nasional. Semoga.
Referensi:
- Geertz, C. (1963). Agricultural Involution: The Processes of Ecological Change in Indonesia. University of California Press.
- Scott, J. C. (1976). The Moral Economy of the Peasant: Rebellion and Subsistence in Southeast Asia. Yale University Press.
- Brookfield, H., & Piers, B. (eds.). Land Degradation and Society. (editions on land degradation and social causes).
- CIFOR-ICRAF. Agrarian Change in Tropical Landscapes: Indonesia case studies. (projek dan publikasi terkait Kapuas Hulu dan daerah lain). (CIFOR-ICRAF)
- Pernyataan Sikap Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) tentang Hari Tani Nasional 2025..
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI