Ini menegaskan bahwa bahasa isyarat adalah sistem komunikasi yang berdiri sendiri secara linguistik, bukan turunan dari bahasa lisan manapun.
Konsekuensi dari kekeliruan cara pandang kita tentang Bahasa isyarat akan berdampak pada: kebijakan pendidikan, pelayanan publik, dan representasi media yang seringkali mengabaikan kenyataan bahwa bahasa isyarat adalah bahasa ibu bagi komunitas tuli, dan pengakuan terhadapnya adalah pengakuan atas identitas dan hak politik.
Fakta seputar bahasa isyarat
Salah satu fakta menarik yang masih kurang diketahui publik adalah bahwa bahasa isyarat telah digunakan jauh sebelum era modern bahkan sejak abad ke-4 SM, menunjukkan kedalaman sejarahnya yang luar biasa.
Sampai saat ini, diperkirakan ada 300 bahasa isyarat di seluruh dunia, sehingga belum ada satu bahasa isyarat yang bersifat universal.
Meskipun tampak visual, bahasa isyarat memiliki unit berulang seperti bentuk tangan (handshape), lokasi, orientasi, dan gerakan yang berperan mirip fonem dalam bahasa lisan.
Ekspresi wajah dan gerakan tubuh bukan sekadar 'emosi' tetapi pengangkut makna gramatikal (mis. untuk menandai jenis pertanyaan, kondisi, atau topik referensial).
Penelitian neurolinguistik menunjukkan bahwa penggunaan bahasa isyarat melibatkan area bahasa di otak serupa dengan bahasa lisan --- menegaskan statusnya sebagai bahasa sejati, bukan representasi kasar.
Selain itu, setiap negara membangun bahasa isyaratnya sendiri dengan dialek dan ragam yang berbeda, termasuk Indonesia yang mengenal dua sistem utama: Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI) dan Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo).
SIBI yang dikembangkan berlandaskan adaptasi dari American Sign Language (ASL) oleh orang dengar, berbeda dengan Bisindo yang tumbuh organik dari komunitas tuna rungu, dengan tujuan memudahkan komunikasi antar anggota komunitas itu sendiri.
Perbedaan antara BISINDO dengan SIBI dapat dicontohkan:Â