Mohon tunggu...
Tino Rahardian
Tino Rahardian Mohon Tunggu... Peneliti Senior Swarna Dwipa Institute (SDI)

Sosialisme Indonesia. Secangkir kopi. Buku. Puncak gunung. "Jika takdir menghendakimu kalah, berikanlah dia perlawanan yang terbaik" [William McFee].

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menguatkan Hari Bahasa Isyarat Internasional di Indonesia

23 September 2025   21:17 Diperbarui: 24 September 2025   15:27 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warga belajar bahasa isyarat Indonesia saat berlangsung Peringatan Hari Bahasa Isyarat Internasional saat hari bebas kendaraan di Jalan Tunjungan, Surabaya, Jawa Timur, Minggu (6/10/2019). KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Setiap tanggal 23 September, dunia memperingati Hari Bahasa Isyarat Internasional (International Day of Sign Languages), sebuah momentum yang secara resmi diinisiasi oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa sejak 2018.

Sejatinya, peringatan itu bukan sekadar "perayaan" simbolik namun untuk menegaskan pentingnya bahasa isyarat sebagai medium komunikasi yang esensial bagi lebih dari 70 juta penyandang tuna rungu di seluruh dunia.

Hari ini bukan sekadar penanda waktu, melainkan seruan kolektif untuk memperjuangkan pengakuan dan hak asasi komunitas tuna rungu secara global.

Pilihan tanggal ini berakar pada sejarah berdirinya Federasi Tuna Rungu Sedunia (World Federation of the Deaf, WFD) pada 1951---sebuah organisasi global yang menjadi pelopor advokasi pelestarian bahasa isyarat dan budaya tuli sebagai unsur fundamental dalam mewujudkan keadilan sosial dan hak asasi manusia (HAM) komunitas tuna rungu.

Bahasa, bukan hanya gerak

Banyak orang keliru memandang bahasa isyarat sebagai "terjemahan visual" dari bahasa lisan.

Persepsi ini mereduksi bahasa isyarat menjadi alat teknis bantu komunikasi---bukan sistem bahasa penuh dengan tata bahasa, kosakata, dan sejarah sosiokulturalnya sendiri.

Singkatnya, bahasa isyarat sendiri merupakan bahasa yang hidup dengan struktur gramatikal dan sintaksisnya sendiri, tidak sekadar representasi visual dari bahasa lisan.

Sebuah pertanyaan dalam bahasa isyarat, misalnya, ditandai dengan gestur ekspresi wajah dan posisi alis yang khas, yang berbeda tergantung jenis pertanyaannya.

Bahasa isyarat bukan hanya melibatkan gerakan tangan, tetapi juga bahasa tubuh dan ekspresi wajah yang kompleks, membentuk kosakata dan tata bahasa yang lengkap serta dinamis, beradaptasi dan berkembang seiring waktu.

Ini menegaskan bahwa bahasa isyarat adalah sistem komunikasi yang berdiri sendiri secara linguistik, bukan turunan dari bahasa lisan manapun.

Konsekuensi dari kekeliruan cara pandang kita tentang Bahasa isyarat akan berdampak pada: kebijakan pendidikan, pelayanan publik, dan representasi media yang seringkali mengabaikan kenyataan bahwa bahasa isyarat adalah bahasa ibu bagi komunitas tuli, dan pengakuan terhadapnya adalah pengakuan atas identitas dan hak politik.

Fakta seputar bahasa isyarat

Salah satu fakta menarik yang masih kurang diketahui publik adalah bahwa bahasa isyarat telah digunakan jauh sebelum era modern bahkan sejak abad ke-4 SM, menunjukkan kedalaman sejarahnya yang luar biasa.

Sampai saat ini, diperkirakan ada 300 bahasa isyarat di seluruh dunia, sehingga belum ada satu bahasa isyarat yang bersifat universal.

Meskipun tampak visual, bahasa isyarat memiliki unit berulang seperti bentuk tangan (handshape), lokasi, orientasi, dan gerakan yang berperan mirip fonem dalam bahasa lisan.

Ekspresi wajah dan gerakan tubuh bukan sekadar 'emosi' tetapi pengangkut makna gramatikal (mis. untuk menandai jenis pertanyaan, kondisi, atau topik referensial).

Penelitian neurolinguistik menunjukkan bahwa penggunaan bahasa isyarat melibatkan area bahasa di otak serupa dengan bahasa lisan --- menegaskan statusnya sebagai bahasa sejati, bukan representasi kasar.

Selain itu, setiap negara membangun bahasa isyaratnya sendiri dengan dialek dan ragam yang berbeda, termasuk Indonesia yang mengenal dua sistem utama: Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI) dan Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo).

SIBI yang dikembangkan berlandaskan adaptasi dari American Sign Language (ASL) oleh orang dengar, berbeda dengan Bisindo yang tumbuh organik dari komunitas tuna rungu, dengan tujuan memudahkan komunikasi antar anggota komunitas itu sendiri.

Perbedaan antara BISINDO dengan SIBI dapat dicontohkan: 

  • BISINDO menggunakan American Sign Language (ASL one-handed system), yakni alfabet satu tangan.

    • Contoh: huruf A ditunjukkan dengan mengepalkan tangan, jempol di samping.

    • Huruf B: telapak tangan menghadap ke depan, empat jari berdiri rapat, jempol menekuk ke dalam.

    • Semua huruf (A--Z) dapat ditunjukkan hanya dengan satu tangan.

  • SIBI menggunakan Indonesian two-handed system, yakni alfabet dua tangan (berbasis pada bahasa isyarat manual lama di Indonesia).

    • Contoh: huruf A dibentuk dengan tangan kiri sebagai "alas" (telapak terbuka horizontal), lalu tangan kanan mengepal di atasnya.

    • Huruf B: tangan kiri tetap sebagai alas, tangan kanan menegakkan empat jari (seperti bentuk B).

    • Banyak huruf memerlukan koordinasi kedua tangan, sehingga lebih kompleks.

Dalam konteks Indonesia, meskipun ada upaya pengembangan bahasa isyarat dan pengakuan hak penyandang tuna rungu, masih terdapat tantangan besar yang harus diatasi.

Tantangan di Indonesia

Keterbatasan akses pendidikan dan layanan publik bagi komunitas tuna rungu masih nyata, terutama di wilayah terpencil.

Teknologi seperti avatar bahasa isyarat berbasis animasi 3D dan augmented reality mulai dikembangkan untuk menjembatani kesenjangan komunikasi, namun implementasi dan penerimaannya masih dalam tahap perkembangan.

Keterlibatan aktif komunitas tuna rungu dalam pengembangan teknologi ini menjadi kunci sukses keberlanjutan implementasinya.

Secara hukum, pengakuan bahasa isyarat sebagai bahasa resmi atau bahasa kedua di Indonesia masih perlu diperkuat agar kesetaraan hak komunikasi dapat terjamin.

Beberapa titik kritis:

1. Kebijakan tanpa basis komunitas: Program-program inklusi yang dikembangkan oleh pemerintah atau LSM sering mengadopsi model 'top-down'---mengimpor SIBI atau model bilingual (bahasa lisan + sistem kodifikasi) tanpa pelibatan substantif komunitas tuli. Akibatnya terjadi kesenjangan antara praktik di kelas dan kebutuhan bahasa komunitas.

2. Krisis tenaga pendidik berbahasa isyarat: Ketersediaan guru terlatih bahasa isyarat, interpreter yang tersertifikasi, dan materi pendidikan berkualitas masih sangat terbatas, terutama di daerah luar kota besar.

3. Representasi media yang simbolis: Dalam situasi darurat atau acara pemerintahan, kehadiran penerjemah bahasa isyarat kadang bersifat simbolik dan tidak konsisten; akses penyandang tuli terhadap informasi publik masih rentan.

4. Alat bantu bukan pengganti bahasa: Teknologi---dari subtitle otomatis hingga aplikasi terjemahan isyarat---memiliki peran penting. Namun teknologi tidak boleh menggantikan investasi pada pengajaran bahasa isyarat, pelatihan interpreter, dan pengakuan hukum. Aplikasi atau implant tidak boleh menjadi alasan untuk melemahkan kewajiban negara menjaga hak linguistik komunitas tuli.

Penutup: 23 September sebagai momen introspeksi kolektif

Hari Bahasa Isyarat Internasional adalah pengingat kritis bahwa bahasa isyarat lebih dari sekedar bahasa komunikasi; ia merupakan wujud nyata hak asasi yang perlu dilestarikan dan diakomodasi secara sistematis dalam ranah pendidikan, layanan publik, dan sosial budaya.

Kesadaran publik yang masih minim harus menjadi perhatian utama, terutama karena lebih dari 80% penyandang tuna rungu hidup di negara berkembang seperti Indonesia.

Pengakuan bahasa isyarat dalam kebijakan publik akan membuka akses mereka terhadap pendidikan berkualitas dan partisipasi sosial yang inklusif.

Institut pemerintahan, akademisi, aktivis, dan masyarakat luas wajib mengambil bagian dalam advokasi ini demi terciptanya masyarakat yang benar-benar adil dan berpihak pada keragaman bahasa dan budaya inklusif.

Dengan memperingati Hari Bahasa Isyarat Internasional, kita diajak menelusuri dimensi bahasa yang tak berbunyi namun sangat bermakna, meneguhkan bahwa keberagaman bahasa adalah kekayaan budaya manusia yang harus dihormati.

Di Indonesia, pengembangan dan pemanfaatan bahasa isyarat harus menjadi fondasi penting dalam kebijakan inklusi disabilitas, agar komunitas tuna rungu tidak menjadi "gagal komunikasi" dalam pembangunan sosial dan politik bangsa.

Akhir kata...

Jika kita merayakan 23 September hanya dengan simbolisme tanpa disertai reformasi substantif, kita kian mengukuhkan status bahasa isyarat sebagai "opsi" alih-alih hak.

Waktunya adalah sekarang: demi anak-anak tuli yang hari ini belajar di kelas tanpa bahasa ibu mereka, demi warga yang berhak mendapatkan informasi pada saat krisis, dan demi sebuah republik yang menjunjung tinggi hak setiap warganya---bahkan ketika hak itu tak bisa didengar, tetapi selalu dapat dilihat dan dipahami.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun