Teknologi seperti avatar bahasa isyarat berbasis animasi 3D dan augmented reality mulai dikembangkan untuk menjembatani kesenjangan komunikasi, namun implementasi dan penerimaannya masih dalam tahap perkembangan.
Keterlibatan aktif komunitas tuna rungu dalam pengembangan teknologi ini menjadi kunci sukses keberlanjutan implementasinya.
Secara hukum, pengakuan bahasa isyarat sebagai bahasa resmi atau bahasa kedua di Indonesia masih perlu diperkuat agar kesetaraan hak komunikasi dapat terjamin.
Beberapa titik kritis:
1. Kebijakan tanpa basis komunitas: Program-program inklusi yang dikembangkan oleh pemerintah atau LSM sering mengadopsi model 'top-down'---mengimpor SIBI atau model bilingual (bahasa lisan + sistem kodifikasi) tanpa pelibatan substantif komunitas tuli. Akibatnya terjadi kesenjangan antara praktik di kelas dan kebutuhan bahasa komunitas.
2. Krisis tenaga pendidik berbahasa isyarat: Ketersediaan guru terlatih bahasa isyarat, interpreter yang tersertifikasi, dan materi pendidikan berkualitas masih sangat terbatas, terutama di daerah luar kota besar.
3. Representasi media yang simbolis: Dalam situasi darurat atau acara pemerintahan, kehadiran penerjemah bahasa isyarat kadang bersifat simbolik dan tidak konsisten; akses penyandang tuli terhadap informasi publik masih rentan.
4. Alat bantu bukan pengganti bahasa: Teknologi---dari subtitle otomatis hingga aplikasi terjemahan isyarat---memiliki peran penting. Namun teknologi tidak boleh menggantikan investasi pada pengajaran bahasa isyarat, pelatihan interpreter, dan pengakuan hukum. Aplikasi atau implant tidak boleh menjadi alasan untuk melemahkan kewajiban negara menjaga hak linguistik komunitas tuli.
Penutup: 23 September sebagai momen introspeksi kolektif
Hari Bahasa Isyarat Internasional adalah pengingat kritis bahwa bahasa isyarat lebih dari sekedar bahasa komunikasi; ia merupakan wujud nyata hak asasi yang perlu dilestarikan dan diakomodasi secara sistematis dalam ranah pendidikan, layanan publik, dan sosial budaya.
Kesadaran publik yang masih minim harus menjadi perhatian utama, terutama karena lebih dari 80% penyandang tuna rungu hidup di negara berkembang seperti Indonesia.
Pengakuan bahasa isyarat dalam kebijakan publik akan membuka akses mereka terhadap pendidikan berkualitas dan partisipasi sosial yang inklusif.
Institut pemerintahan, akademisi, aktivis, dan masyarakat luas wajib mengambil bagian dalam advokasi ini demi terciptanya masyarakat yang benar-benar adil dan berpihak pada keragaman bahasa dan budaya inklusif.
Dengan memperingati Hari Bahasa Isyarat Internasional, kita diajak menelusuri dimensi bahasa yang tak berbunyi namun sangat bermakna, meneguhkan bahwa keberagaman bahasa adalah kekayaan budaya manusia yang harus dihormati.
Di Indonesia, pengembangan dan pemanfaatan bahasa isyarat harus menjadi fondasi penting dalam kebijakan inklusi disabilitas, agar komunitas tuna rungu tidak menjadi "gagal komunikasi" dalam pembangunan sosial dan politik bangsa.