Mohon tunggu...
Tino Rahardian
Tino Rahardian Mohon Tunggu... Peneliti Senior Swarna Dwipa Institute (SDI)

Sosialisme Indonesia. Secangkir kopi. Buku. Puncak gunung. "Jika takdir menghendakimu kalah, berikanlah dia perlawanan yang terbaik" [William McFee].

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menguatkan Hari Bahasa Isyarat Internasional di Indonesia

23 September 2025   21:17 Diperbarui: 24 September 2025   15:27 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Teknologi seperti avatar bahasa isyarat berbasis animasi 3D dan augmented reality mulai dikembangkan untuk menjembatani kesenjangan komunikasi, namun implementasi dan penerimaannya masih dalam tahap perkembangan.

Keterlibatan aktif komunitas tuna rungu dalam pengembangan teknologi ini menjadi kunci sukses keberlanjutan implementasinya.

Secara hukum, pengakuan bahasa isyarat sebagai bahasa resmi atau bahasa kedua di Indonesia masih perlu diperkuat agar kesetaraan hak komunikasi dapat terjamin.

Beberapa titik kritis:

1. Kebijakan tanpa basis komunitas: Program-program inklusi yang dikembangkan oleh pemerintah atau LSM sering mengadopsi model 'top-down'---mengimpor SIBI atau model bilingual (bahasa lisan + sistem kodifikasi) tanpa pelibatan substantif komunitas tuli. Akibatnya terjadi kesenjangan antara praktik di kelas dan kebutuhan bahasa komunitas.

2. Krisis tenaga pendidik berbahasa isyarat: Ketersediaan guru terlatih bahasa isyarat, interpreter yang tersertifikasi, dan materi pendidikan berkualitas masih sangat terbatas, terutama di daerah luar kota besar.

3. Representasi media yang simbolis: Dalam situasi darurat atau acara pemerintahan, kehadiran penerjemah bahasa isyarat kadang bersifat simbolik dan tidak konsisten; akses penyandang tuli terhadap informasi publik masih rentan.

4. Alat bantu bukan pengganti bahasa: Teknologi---dari subtitle otomatis hingga aplikasi terjemahan isyarat---memiliki peran penting. Namun teknologi tidak boleh menggantikan investasi pada pengajaran bahasa isyarat, pelatihan interpreter, dan pengakuan hukum. Aplikasi atau implant tidak boleh menjadi alasan untuk melemahkan kewajiban negara menjaga hak linguistik komunitas tuli.

Penutup: 23 September sebagai momen introspeksi kolektif

Hari Bahasa Isyarat Internasional adalah pengingat kritis bahwa bahasa isyarat lebih dari sekedar bahasa komunikasi; ia merupakan wujud nyata hak asasi yang perlu dilestarikan dan diakomodasi secara sistematis dalam ranah pendidikan, layanan publik, dan sosial budaya.

Kesadaran publik yang masih minim harus menjadi perhatian utama, terutama karena lebih dari 80% penyandang tuna rungu hidup di negara berkembang seperti Indonesia.

Pengakuan bahasa isyarat dalam kebijakan publik akan membuka akses mereka terhadap pendidikan berkualitas dan partisipasi sosial yang inklusif.

Institut pemerintahan, akademisi, aktivis, dan masyarakat luas wajib mengambil bagian dalam advokasi ini demi terciptanya masyarakat yang benar-benar adil dan berpihak pada keragaman bahasa dan budaya inklusif.

Dengan memperingati Hari Bahasa Isyarat Internasional, kita diajak menelusuri dimensi bahasa yang tak berbunyi namun sangat bermakna, meneguhkan bahwa keberagaman bahasa adalah kekayaan budaya manusia yang harus dihormati.

Di Indonesia, pengembangan dan pemanfaatan bahasa isyarat harus menjadi fondasi penting dalam kebijakan inklusi disabilitas, agar komunitas tuna rungu tidak menjadi "gagal komunikasi" dalam pembangunan sosial dan politik bangsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun