Mohon tunggu...
Tino Rahardian
Tino Rahardian Mohon Tunggu... Peneliti Senior Swarna Dwipa Institute (SDI)

Sosialisme Indonesia. Secangkir kopi. Buku. Puncak gunung. "Jika takdir menghendakimu kalah, berikanlah dia perlawanan yang terbaik" [William McFee].

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Menjaga Asa di Tengah Defisit Sensitivitas Pejabat Publik

13 Agustus 2025   21:11 Diperbarui: 14 Agustus 2025   07:34 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Situasi aksi demo 13 Agustus 2025 di depan kantor Bupati Kabupaten Pati (Foto: Murianews/Istimewa)

Kepekaan sosial (Danang Satriawan, 2012) menekankan pentingnya norma dan nilai moral dalam mendorong tingkah laku sosial yang responsif dan penuh empati.

Ketika pejabat kehilangan nilai-nilai ini, maka timbullah jarak sosial yang melemahkan efektivitas pemerintahan.

Mengapa sensitivitas itu krusial?

Governance atau tata kelola pemerintahan bukan hanya soal kalkulasi fiskal dan legalitas, tetapi juga rezim afektif: cara negara mengelola emosi publik.

Ucapan pejabat berfungsi sebagai sinyal moral. Ketika sinyalnya dingin (atau sarkastik), ia mengirim pesan bahwa penderitaan sosial adalah eksternalitas---padahal ia inti mandat.

Akuntabilitas atau pertanggungjawaban tak hanya soal prosedural (audit, pelaporan), melainkan responsiveness---kepekaan real-time terhadap penderitaan dan persepsi publik.

Klarifikasi Nusron dan revisi kebijakan Bupati Pati adalah langkah akuntabel, tetapi timing yang terlambat menggerus kredibilitas.

Kebijakan hidup di level narasi. Kenaikan pajak 250% tak lagi dihitung sebagai rasionalisasi fiskal; ia dinarasikan sebagai ketakpedulian di tengah situasi rakyat yang sedang kesulitan.

Pernyataan "apakah negara harus menanggung semua gaji" menggeser frame dari kewajiban konstitusional menjadi kedermawanan fiskal. Dalam demokrasi, narasi sering mengalahkan nota keuangan.

Penutup

Negara bukan hanya mesin aturan; ia juga komunitas 'senasib sepenanggungan'. Sensitivitas pejabat bukan aksesori moral, melainkan infrastruktur legitimasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun