Kepekaan sosial (Danang Satriawan, 2012) menekankan pentingnya norma dan nilai moral dalam mendorong tingkah laku sosial yang responsif dan penuh empati.
Ketika pejabat kehilangan nilai-nilai ini, maka timbullah jarak sosial yang melemahkan efektivitas pemerintahan.
Mengapa sensitivitas itu krusial?
Governance atau tata kelola pemerintahan bukan hanya soal kalkulasi fiskal dan legalitas, tetapi juga rezim afektif: cara negara mengelola emosi publik.
Ucapan pejabat berfungsi sebagai sinyal moral. Ketika sinyalnya dingin (atau sarkastik), ia mengirim pesan bahwa penderitaan sosial adalah eksternalitas---padahal ia inti mandat.
Akuntabilitas atau pertanggungjawaban tak hanya soal prosedural (audit, pelaporan), melainkan responsiveness---kepekaan real-time terhadap penderitaan dan persepsi publik.
Klarifikasi Nusron dan revisi kebijakan Bupati Pati adalah langkah akuntabel, tetapi timing yang terlambat menggerus kredibilitas.
Kebijakan hidup di level narasi. Kenaikan pajak 250% tak lagi dihitung sebagai rasionalisasi fiskal; ia dinarasikan sebagai ketakpedulian di tengah situasi rakyat yang sedang kesulitan.
Pernyataan "apakah negara harus menanggung semua gaji" menggeser frame dari kewajiban konstitusional menjadi kedermawanan fiskal. Dalam demokrasi, narasi sering mengalahkan nota keuangan.
Penutup
Negara bukan hanya mesin aturan; ia juga komunitas 'senasib sepenanggungan'. Sensitivitas pejabat bukan aksesori moral, melainkan infrastruktur legitimasi.