Mohon tunggu...
Tino Rahardian
Tino Rahardian Mohon Tunggu... Peneliti Senior Swarna Dwipa Institute (SDI)

Sosialisme Indonesia. Secangkir kopi. Buku. Puncak gunung. "Jika takdir menghendakimu kalah, berikanlah dia perlawanan yang terbaik" [William McFee].

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menjawab Senarai Kritik Atas Penulisan Ulang Sejarah Indonesia

21 Mei 2025   07:25 Diperbarui: 21 Mei 2025   07:25 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
lustrasi sejarah Indonesia.(Foto: canva.com via Kompas.com)

Tahun 2025 menjadi penanda penting dalam sejarah intelektual Indonesia: pemerintah melalui Kementerian Kebudayaan menggagas proyek besar penulisan ulang sejarah nasional menjelang peringatan 80 tahun kemerdekaan Indonesia.

Dengan melibatkan tidak kurang dari 120 sejarawan dari berbagai perguruan tinggi, dan dipimpin oleh Profesor Susanto Zuhdi, proyek ini bertujuan menghasilkan 10 jilid buku setebal 5.000 halaman sebagai pengganti Indonesia dalam Arus Sejarah (2012).

Proyek monumental ini diharapkan mampu meredefinisi narasi besar Indonesia yang selama ini banyak ditulis dalam bayang-bayang rezim politik tertentu, terutama Orde Baru.

Namun pertanyaan penting muncul: mengapa sejarah perlu ditulis ulang? Apakah sejarah kita selama ini "salah"? Atau ini sekadar bentuk aktualisasi kuasa baru terhadap memori kolektif bangsa?

Artikel ini mencoba mengangkat pendekatan teoritik kontemporer dalam historiografi global untuk memahami dinamika penulisan ulang sejarah ini, serta menawarkan pembacaan baru tentang sejarah sebagai arena negosiasi antara ingatan, identitas, dan kekuasaan.

Menulis Ulang Indonesia dan Historiografi Modern

Penulisan ulang sejarah Indonesia bukanlah perkara mudah. Ia tak sekadar memindahkan teks ke dalam buku. Mungkin sebagian publik, termasuk saya belum mengetahui bahwa proyek ini mengadopsi prinsip-prinsip historiografi modern yang menekankan:

1. Analisis kritis multidisiplin: mengintegrasikan perspektif ekonomi, sosiologi, dan antropologi dalam interpretasi peristiwa.

2. Dekonstruksi narasi kolonial: merevisi bias Eurosentrisme dalam periodisasi sejarah.

3. Inklusi sumber marjinal: memasukkan kesaksian lisan, artefak budaya, dan dokumen lokal yang terabaikan.

4. Transparansi metodologis: memetakan secara jelas tahapan heuristik, kritik sumber, dan interpretasi.

Namun, target penyelesaian 17 bulan (Mei 2024-Agustus 2025) dipertanyakan. Menurut laporan Kompas.id, tim mengandalkan kompilasi penelitian eksisting ketimbang ekskavasi sumber primer baru--praktik yang berisiko mengabadikan bias akademis sebelumnya.

Titik Rawan dalam Proyek Resmi

Dalam beberapa diskusi dan analisis melalui media pemberitaan, terdapat beberapa catatan kelemahan struktural yang teridentifikasi dalam penulisan uulang sejarah Indonesia ini, diantaranya:

1. Dominasi narasi negara: Konsep "sejarah resmi" yang diusung berpotensi meminggirkan kontra-narasi seperti peran gerakan perempuan dalam revolusi atau konflik etnis pasca-kemerdekaan.

2. Hegemoni sejarawan Jawa: 60% anggota tim berasal dari Pulau Jawa, berisiko menciptakan sentralisme historis.

3. Minimnya pendekatan kuantitatif: Padahal historiografi mutakhir telah mengadopsi digital history dan analisis big data untuk studi demografi sejarah.

Historiografi Sebagai Proses Sosial dan Politik

Dalam studi mutakhir historiografi, sejarah tidak lagi dipahami sebagai narasi objektif masa lalu, melainkan sebagai konstruksi yang sarat dengan kepentingan politik, budaya, dan ideologi.

Sejarawan seperti Michel de Certeau dalam The Writing of History (1975) menegaskan bahwa penulisan sejarah merupakan "praktik diskursif" yang bekerja di bawah logika kekuasaan.

Sementara itu, Joan Scott (1991) dalam pendekatan pascastrukturalisnya mengingatkan bahwa sejarah selalu merupakan hasil "produksi makna" dalam situasi sosial tertentu.

Hal ini juga sejalan dengan pemikiran Hayden White, yang menyatakan bahwa narasi sejarah selalu melibatkan pilihan-pilihan retoris, estetis, dan ideologis.

Sejarawan tidak hanya mencatat fakta, tetapi juga membingkainya, memilih mana yang penting, dan menyusunnya dalam alur tertentu.

Dalam konteks Indonesia, penulisan sejarah nasional selama ini banyak dikritik karena terlalu state-centric, militeristik, dan sering kali menyingkirkan suara-suara pinggiran: perempuan, minoritas, masyarakat adat, dan gerakan kiri.

Dengan demikian, proyek penulisan ulang ini semestinya menjadi ruang untuk reklamasi historiografis--sebuah upaya memperluas aktor dan narasi dalam sejarah nasional.

Politik Memori dan Kuasa Narasi

Maurice Halbwachs dalam teorinya tentang collective memory menunjukkan bahwa memori kolektif dibentuk dalam kerangka institusional.

Negara, sebagai aktor utama dalam membentuk kurikulum dan arsip resmi, memiliki andil besar dalam menentukan apa yang boleh dan tidak boleh diingat.

Dengan begitu, penulisan ulang sejarah Indonesia bukan sekadar proyek akademik, melainkan juga arena kontestasi politik memori.

Hal ini sejalan dengan tesis Pierre Nora tentang lieux de memoire, yakni tempat-tempat atau momen-momen yang diproduksi untuk menjaga atau mereproduksi identitas kolektif dalam konteks tertentu.

Pertanyaannya: apakah proyek ini akan menjadi upaya demokratisasi sejarah atau justru reproduksi memori baru yang elitis dan eksklusif?

Teori dan Praktik Sejarah Publik

Untuk menjawab tantangan tersebut, penting menggunakan pendekatan public history yang kini berkembang pesat di berbagai negara.

Sejarah publik menekankan keterlibatan masyarakat luas dalam proses penulisan dan pemaknaan sejarah.

Barbara Franco (2010) menyebut bahwa sejarah publik bertujuan "mendekatkan sejarah kepada komunitas dengan menempatkan suara mereka dalam narasi historis."

Dengan demikian, proyek penulisan ulang ini seharusnya tidak hanya menjadi ranah 120 sejarawan elite, melainkan membuka ruang partisipatif bagi masyarakat sipil, komunitas lokal, dan generasi muda. Teknologi digital dan arsip terbuka harus dijadikan instrumen demokratisasi historiografi.

Membuka Ruang Narasi Alternatif

Penulisan ulang sejarah Indonesia menuju 80 tahun kemerdekaan dapat menjadi momen korektif dan produktif--asalkan dilakukan dengan prinsip inklusivitas, transparansi metodologis, dan keberpihakan terhadap pluralitas pengalaman.

Ini adalah kesempatan untuk menyuarakan narasi-narasi yang selama ini terpinggirkan: sejarah perempuan dalam perjuangan kemerdekaan, kontribusi komunitas Tionghoa dan Arab, sejarah konflik lokal yang terlupakan, serta pembacaan ulang atas peristiwa-peristiwa seperti 1965, Timor Timur, dan Papua.

Melalui pendekatan decolonial seperti yang diajukan Walter Mignolo dan Anibal Quijano, kita dapat membongkar warisan epistemik kolonial yang masih mendominasi struktur berpikir sejarah kita.

Penulisan ulang ini tidak hanya merestorasi masa lalu, tetapi juga membuka ruang bagi imajinasi politik baru untuk masa depan Indonesia yang lebih inklusif.

Penutup: Menulis Ulang untuk Mengingat dan Memperjuangkan

Sejarah adalah medan tempur antara lupa dan ingat, antara narasi dominan dan suara terpinggirkan.

Proyek penulisan ulang sejarah nasional menjelang 80 tahun Indonesia merdeka bukan hanya soal mengganti buku teks, melainkan soal siapa yang punya hak untuk menentukan makna "Indonesia".

Dalam dunia di mana sejarah kerap dijadikan alat legitimasi politik, menulis ulang bisa menjadi bentuk perlawanan--atau justru bentuk baru hegemoni. Jawabannya tergantung pada siapa yang menulis, untuk siapa, dan dengan cara bagaimana.

Referensi:

  • Chakrabarty, D. (2000). Provincializing Europe: Postcolonial Thought and Historical Difference. Princeton University Press.
  • De Certeau, M. (1988). The writing of history. Columbia University Press.
  • Halbwachs, M. (2020). On collective memory. University of Chicago press.
  • Mignolo, W. (2011). The darker side of western modernity: Global futures, decolonial options. Duke University Press.
  • Nora, P. (1989). Between memory and history: Les lieux de mmoire. Representations, 7-24.
  • Scott, J. W. (1991). The evidence of experience. Critical inquiry, 17(4), 773-797.
  • White, H. (2014). Metahistory: The historical imagination in nineteenth-century Europe. Johns Hopkins University Press.
  • Franco, B. (1997). Public history and memory: A museum perspective. The Public Historian, 19(2), 65-67.
  • Quijano, A. (2000). Coloniality of power and Eurocentrism in Latin America. International sociology, 15(2), 215-232.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun