Historiografi Sebagai Proses Sosial dan Politik
Dalam studi mutakhir historiografi, sejarah tidak lagi dipahami sebagai narasi objektif masa lalu, melainkan sebagai konstruksi yang sarat dengan kepentingan politik, budaya, dan ideologi.
Sejarawan seperti Michel de Certeau dalam The Writing of History (1975) menegaskan bahwa penulisan sejarah merupakan "praktik diskursif" yang bekerja di bawah logika kekuasaan.
Sementara itu, Joan Scott (1991) dalam pendekatan pascastrukturalisnya mengingatkan bahwa sejarah selalu merupakan hasil "produksi makna" dalam situasi sosial tertentu.
Hal ini juga sejalan dengan pemikiran Hayden White, yang menyatakan bahwa narasi sejarah selalu melibatkan pilihan-pilihan retoris, estetis, dan ideologis.
Sejarawan tidak hanya mencatat fakta, tetapi juga membingkainya, memilih mana yang penting, dan menyusunnya dalam alur tertentu.
Dalam konteks Indonesia, penulisan sejarah nasional selama ini banyak dikritik karena terlalu state-centric, militeristik, dan sering kali menyingkirkan suara-suara pinggiran: perempuan, minoritas, masyarakat adat, dan gerakan kiri.
Dengan demikian, proyek penulisan ulang ini semestinya menjadi ruang untuk reklamasi historiografis--sebuah upaya memperluas aktor dan narasi dalam sejarah nasional.
Politik Memori dan Kuasa Narasi
Maurice Halbwachs dalam teorinya tentang collective memory menunjukkan bahwa memori kolektif dibentuk dalam kerangka institusional.
Negara, sebagai aktor utama dalam membentuk kurikulum dan arsip resmi, memiliki andil besar dalam menentukan apa yang boleh dan tidak boleh diingat.