Dengan begitu, penulisan ulang sejarah Indonesia bukan sekadar proyek akademik, melainkan juga arena kontestasi politik memori.
Hal ini sejalan dengan tesis Pierre Nora tentang lieux de memoire, yakni tempat-tempat atau momen-momen yang diproduksi untuk menjaga atau mereproduksi identitas kolektif dalam konteks tertentu.
Pertanyaannya: apakah proyek ini akan menjadi upaya demokratisasi sejarah atau justru reproduksi memori baru yang elitis dan eksklusif?
Teori dan Praktik Sejarah Publik
Untuk menjawab tantangan tersebut, penting menggunakan pendekatan public history yang kini berkembang pesat di berbagai negara.
Sejarah publik menekankan keterlibatan masyarakat luas dalam proses penulisan dan pemaknaan sejarah.
Barbara Franco (2010) menyebut bahwa sejarah publik bertujuan "mendekatkan sejarah kepada komunitas dengan menempatkan suara mereka dalam narasi historis."
Dengan demikian, proyek penulisan ulang ini seharusnya tidak hanya menjadi ranah 120 sejarawan elite, melainkan membuka ruang partisipatif bagi masyarakat sipil, komunitas lokal, dan generasi muda. Teknologi digital dan arsip terbuka harus dijadikan instrumen demokratisasi historiografi.
Membuka Ruang Narasi Alternatif
Penulisan ulang sejarah Indonesia menuju 80 tahun kemerdekaan dapat menjadi momen korektif dan produktif--asalkan dilakukan dengan prinsip inklusivitas, transparansi metodologis, dan keberpihakan terhadap pluralitas pengalaman.
Ini adalah kesempatan untuk menyuarakan narasi-narasi yang selama ini terpinggirkan: sejarah perempuan dalam perjuangan kemerdekaan, kontribusi komunitas Tionghoa dan Arab, sejarah konflik lokal yang terlupakan, serta pembacaan ulang atas peristiwa-peristiwa seperti 1965, Timor Timur, dan Papua.