Ibu Aisyah tidak hanya menjual ayam potong, tetapi juga menjaga jaringan sosial yang erat dengan pelanggan tetap dan pemasok lokal, yang secara tidak langsung memperkuat stabilitas ekonomi mikro di lingkungannya.
"Dulu, pembeli antre dari pagi," katanya sambil membersihkan pisau berkarat. "Sekarang, kadang ayamnya lebih banyak dari yang beli."Â
Pelanggannya--buruh pabrik, penjaga toko, karyawan swasta--banyak yang hilang. Ada yang pindah kota, ada yang menganggur. Tapi Bu Aisyah tak punya pilihan: berhenti berarti mati.
Berbeda dengan sektor formal yang kolaps oleh guncangan makroekonomi, pedagang seperti Bu Aisyah bertahan dengan strategi subsistence entrepreneurship (Williams & Gurtoo, 2011): hidup bukan untuk untung besar, tetapi untuk cukup makan hari ini.
Pasar Tradisional sebagai Benteng Ekonomi Rakyat
Kondisi pasar tradisional yang masih menjadi tempat utama belanja masyarakat kelas menengah ke bawah, meski menghadapi tekanan dari modernisasi dan digitalisasi, memperlihatkan paradoks ekonomi saat ini.
Modernisasi pasar yang digalakkan pemerintah memang bertujuan meningkatkan kapasitas dan pelayanan, namun kebijakan soal penertiban dan penataan kota justru memberatkan pedagang kecil dan mengancam keberlangsungan mereka.
Ibu Aisyah, dengan segala keterbatasan modal dan daya saing, tetap memilih bertahan di pasar tradisional.
Ini bukan sekadar soal ekonomi, melainkan juga soal identitas sosial dan keberlangsungan mata pencaharian yang telah diwariskan secara turun-temurun.
Dalam konteks ini, teori social capital dari Putnam (1993) relevan untuk menjelaskan bagaimana hubungan sosial dan kepercayaan antar pelaku pasar menjadi modal penting dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi.
Di balik angka-angka statistika PHK yang mengkhawatirkan, Ibu Aisyah adalah wajah nyata dari ketegaran dan harapan.