Ketika Menaker, Yassierli mengumumkan bahwa pada periode Januari hingga April 2025 sebanyak 24.036 pekerja terkena PHK, angka itu menjadi sinyal keras tentang ketidakpastian pasar tenaga kerja formal di Indonesia (Kompas.com, 2025).
Di tengah kabar-kabar suram itu, terdapat satu kisah yang tidak tercatat dalam laporan statistik: Ibu Aisyah, 58 tahun, seorang pedagang ayam potong di Pasar Kebayoran Lama, tetap membuka lapaknya setiap subuh sejak lebih dari dua dekade silam.
Tidak ada yang memecatnya, tidak ada yang mencabut penghasilannya, selain kondisi pasar dan daya beli masyarakat.
Ia adalah simbol dari ketahanan ekonomi rakyat yang sering diabaikan dalam wacana makroekonomi.
Awal Pertemuan dan Penggusuran Pedagang Kecil
Medio 2017, Balaikota DKI Jakarta dipimpin oleh Basuki Tjahaja Purnama, akrab disapa Ahok. Era itu, Satpol PP 'agak' galak. Saat situasi seperti itulah, saya bertemu dengan Ibu Aisyah dan suaminya Pak Hamzah. Keduanya berjualan ayam potong di pinggiran Pasar Kebayoraan Lama.
Sejak dulu, saya senang melakukan advokasi atau pendampingan kepada warga yang mengalami kesulitan bahkan tindakan kurang adil dari pemerintah. Ibu Aisyah dan 300-an pedagang kecil kala itu menghadapi ancaman penggusuran.
Sejak awal, saya dan ratusan pedagang kecil seperti Ibu Aisyah, ingin meneguhkan diri sebagai sebuah gerakan yang ajek menempuh jalan konstitusional, jalan yang diatur oleh kearifan bangsa.
Jalan yang memanusiakan manusia. Membuka seluas-luasnya ruang-ruang dialog dan musyawarah.
Kami meyakini bahwa setiap persoalan sosial perkotaan akan selalu ada jalan keluarnya sepanjang kita mau duduk bersama, merendahkan hati dan mau saling menghormati.
Artikel ini tidak akan menceritakan panjang lebar tentang bagaimana kami menyusun kekuatan dan melawan setiap upaya penggusuran sepihak, teror, ancaman, intimidasi, dan sebagainya.
Artikel singkat ini hanya ingin menegaskkan, bahwa Ibu Aisyah yang berdagang ayam potong, merupakan simbol ketahanan ekonomi selama dua dekade. Dia tetap bertahan meski ekonomi nasional compang-camping.
Wabah Covid-19 yang membuat saldo 'berdarah-darah' dan meluluh-lantakan ekonomi keluarga selama 2 tahun, toh tak membuat Ibu Aisyah hancur. Ia tetap berdagang, meski sepi pembeli.
Hari ini, saat badai PHK meninggi yang berdampak pada meningkatnya jumlah pengangguran dan ujungnya adalah lemahnya daya beli, tentu juga akan berdampak serius bagi bu Aisyah dan rekan-rekannya.
Ketangguhan di Tengah Krisis: Sebuah Perspektif Mikroekonomi
Fenomena PHK massal yang melanda sektor padat karya memang menciptakan tekanan besar bagi pasar tenaga kerja dan daya beli masyarakat.
Namun, Ibu Aisyah menunjukkan bagaimana pelaku usaha mikro dan kecil di pasar tradisional berperan sebagai penyangga sosial-ekonomi yang vital.
Dari sudut pandang teori ekonomi mikro, ini dapat dianalisis melalui konsep resilience (ketahanan ekonomi) dan informal economy yang selama ini kurang mendapat perhatian dalam kajian formal.
Menurut teori ketahanan ekonomi, pelaku usaha kecil seperti Ibu Aisyah mengembangkan strategi adaptasi yang bersifat fleksibel dan berbasis komunitas untuk bertahan menghadapi guncangan ekonomi (Martin & Sunley, 2015).
Ibu Aisyah tidak hanya menjual ayam potong, tetapi juga menjaga jaringan sosial yang erat dengan pelanggan tetap dan pemasok lokal, yang secara tidak langsung memperkuat stabilitas ekonomi mikro di lingkungannya.
"Dulu, pembeli antre dari pagi," katanya sambil membersihkan pisau berkarat. "Sekarang, kadang ayamnya lebih banyak dari yang beli."Â
Pelanggannya--buruh pabrik, penjaga toko, karyawan swasta--banyak yang hilang. Ada yang pindah kota, ada yang menganggur. Tapi Bu Aisyah tak punya pilihan: berhenti berarti mati.
Berbeda dengan sektor formal yang kolaps oleh guncangan makroekonomi, pedagang seperti Bu Aisyah bertahan dengan strategi subsistence entrepreneurship (Williams & Gurtoo, 2011): hidup bukan untuk untung besar, tetapi untuk cukup makan hari ini.
Pasar Tradisional sebagai Benteng Ekonomi Rakyat
Kondisi pasar tradisional yang masih menjadi tempat utama belanja masyarakat kelas menengah ke bawah, meski menghadapi tekanan dari modernisasi dan digitalisasi, memperlihatkan paradoks ekonomi saat ini.
Modernisasi pasar yang digalakkan pemerintah memang bertujuan meningkatkan kapasitas dan pelayanan, namun kebijakan soal penertiban dan penataan kota justru memberatkan pedagang kecil dan mengancam keberlangsungan mereka.
Ibu Aisyah, dengan segala keterbatasan modal dan daya saing, tetap memilih bertahan di pasar tradisional.
Ini bukan sekadar soal ekonomi, melainkan juga soal identitas sosial dan keberlangsungan mata pencaharian yang telah diwariskan secara turun-temurun.
Dalam konteks ini, teori social capital dari Putnam (1993) relevan untuk menjelaskan bagaimana hubungan sosial dan kepercayaan antar pelaku pasar menjadi modal penting dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi.
Di balik angka-angka statistika PHK yang mengkhawatirkan, Ibu Aisyah adalah wajah nyata dari ketegaran dan harapan.
Setiap pagi, ia bangun lebih awal, menyiapkan dagangan dengan penuh harap, meski pembeli kian berkurang dan daya beli masyarakat melemah drastis.
Ia bukan hanya berjualan ayam potong, melainkan mempertahankan kehidupan keluarganya dan sekaligus menjaga denyut ekonomi rakyat kecil yang sering terlupakan dalam statistik besar.
Kehadirannya setiap hari di lapak bukan hanya sekadar kegiatan ekonomi, tetapi juga ritual sosial. Ia mendengarkan keluh kesah pelanggan, membantu sesama pedagang, dan menjaga etos kerja yang tidak tertulis namun sangat kuat.Â
Ketika banyak pekerja kehilangan identitas karena PHK, Ibu Aisyah justru menguatkan identitasnya setiap hari di pasar.
Kisah Ibu Aisyah mengingatkan kita bahwa di balik statistik PHK dan modernisasi, ada manusia-manusia yang berjuang dengan cara mereka sendiri, yang mengajarkan kita arti sesungguhnya dari ketahanan ekonomi berbasis komunitas dan solidaritas sosial.
Kisah Ibu Aisyah adalah pengingat bahwa di tengah badai ekonomi saat ini, ketahanan mikro dan solidaritas sosial menjadi jangkar yang menjaga kehidupan masyarakat kecil tetap bertahan.
Tapi di balik ketegaran itu, ada air mata yang tak pernah dihitung oleh angka-angka statistika.
Referensi:
Doeringer, P. B., & Piore, M. J. (2020). Internal labor markets and manpower analysis. Routledge.
Granovetter, M. (1985). Economic action and social structure: The problem of embeddedness. American journal of sociology, 91(3), 481-510.
Kompas.com. (5/5/2025). 24.036 Orang Kena PHK pada Januari-April 2025. [https://nasional.kompas.com/read/2025/05/05/11251761/24036-orang-kena-phk-pada-januari-april-2025#google_vignette].
Martin, R., & Sunley, P. (2015). On the notion of regional economic resilience: conceptualization and explanation. Journal of economic geography, 15(1), 1-42.
Nussbaum, M. C. (2000). Women and human development: The capabilities approach (Vol. 3). Cambridge university press.
Platteau, J. P. (2025). The Economics of Institutional Change: Achievements and Challenges. Handbook of New Institutional Economics, 701-727.
Stiglitz, J. E. (2002). Globalization and Its Discontents. W.W. Norton
Williams, C. (2017). Entrepreneurship in the informal sector: An institutional perspective. Routledge.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI