Permasalahan etika dalam pencalonan Gibran, terutama terkait dugaan konflik kepentingan antara kekuasaan yudikatif dan eksekutif, menimbulkan pertanyaan mengenai asas netralitas administrasi negara.
Namun, dalam sistem presidensial seperti Indonesia, posisi Wakil Presiden tidak tunduk pada prinsip duty of accountability administratif sebagaimana pejabat struktural lainnya.
Akuntabilitas politik Wakil Presiden sepenuhnya bergantung pada proses pemilu dan pertanggungjawaban politik kepada rakyat melalui mekanisme elektoral, bukan administratif.
Hukum administrasi negara mengedepankan asas kepastian hukum (rechtszekerheid) dan stabilitas pemerintahan (Wade & Forsyth, 2009).Â
Tuntutan penggantian wapres tanpa alasan hukum yang jelas dapat menciptakan ketidakstabilan politik dan merusak tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
Tuntutan ini juga mencerminkan potensi abuse of power oleh kelompok kepentingan (interest group) yang ingin memengaruhi kebijakan negara di luar mekanisme demokratis. Hukum administrasi modern menolak intervensi sepihak yang tidak berbasis aturan (Peters, 2021).
Kritik Terhadap Politisasi Mekanisme Konstitusional
Desakan penggantian di luar kerangka hukum dapat dipahami sebagai bentuk ekspresi politik, tetapi menjadi berbahaya jika dipaksakan masuk ke dalam jalur kenegaraan tanpa dasar hukum yang sah.
Hal ini membuka preseden buruk terhadap stabilitas sistem ketatanegaraan.
Dalam pendekatan legal realism, seperti dikemukakan oleh Oliver Wendell Holmes, hukum bukan sekadar teks, tetapi juga produk dari interaksi sosial dan politik.
Namun, ketika tafsir sosial ini dibawa ke dalam tindakan administratif negara tanpa legitimasi hukum, maka negara rentan terhadap krisis normatif.