Pasal 6A UUD 1945 menetapkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.
Prosedur pengangkatan Wakil Presiden melalui pemilu langsung bersama Presiden telah mengikat secara konstitusional.
Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan No. 90/PUU-XXI/2023 yang membuka peluang bagi Gibran untuk mencalonkan diri memang kontroversial, namun tetap memiliki kekuatan hukum tetap (res judicata pro veritate habetur).
Pergantian Wakil Presiden hanya dimungkinkan dalam dua skenario: (1) berhalangan tetap (Pasal 8 UUD 1945), atau (2) pemberhentian melalui proses impeachment oleh MPR atas usulan DPR (Pasal 7B UUD 1945).
Tidak ada klausul konstitusional yang memberikan kewenangan kepada kelompok non-state actor, termasuk organisasi veteran militer, untuk menginisiasi proses pergantian Wakil Presiden.
Dimensi Hukum Administrasi Negara
Menurut Jimly Asshiddiqie (2006), konsep constitutional morality tidak berhenti pada kepatuhan formal terhadap konstitusi, tetapi juga mencakup integritas proses demokrasi.
Di sinilah kritik dari Forum Purnawirawan Prajurit TNI mendapat konteks etis, namun secara normatif, tidak terdapat mekanisme hukum positif untuk "mengganti" Wakil Presiden terpilih secara sepihak atau karena desakan publik.
Kecuali dalam hal yang diatur dalam Pasal 8 UUD NRI 1945, yaitu jika Presiden atau Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya.
Dari sudut hukum administrasi negara, jabatan publik tidak hanya merupakan hasil dari proses legal-formal, tetapi juga harus mencerminkan prinsip good governance.
Prinsip ini meliputi legalitas, akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi publik (Riant Nugroho, 2015).