Paus Fransiskus, melalui kecamannya, sejalan dengan prinsip ini: menolak pembenaran kekerasan meski atas nama "pertahanan diri".
Analisis akar konflik oleh peneliti Indonesia menunjukkan bahwa klaim historis-religius dan campur tangan politik internasional memperkeruh situasi.
Paus Fransiskus memahami kompleksitas ini, sehingga kritiknya tidak hanya ditujukan pada Israel, tetapi juga pada komunitas global yang abai terhadap penderitaan Palestina.
Sikap Paus Fransiskus terhadap konflik Israel-Palestina bisa dianalisis melalui pendekatan etika profetik, sebagaimana dikembangkan oleh Kuntowijoyo dalam ranah ilmu sosial transformatif.
Ia tidak sekadar menjadi pemimpin agama, tetapi juga "nabi zaman kini" yang menyuarakan nilai keadilan transenden dalam kerangka tindakan konkret.
Konsep ini selaras dengan gagasan "politik berbasis nurani" yang banyak dibahas dalam jurnal-jurnal keislaman dan humaniora Indonesia, seperti Jurnal Pemikiran Islam dan Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM.
Dalam ranah hubungan internasional, Paus Fransiskus juga mempraktikkan pendekatan moral diplomacy yang menantang struktur realpolitik.
Ia memperlihatkan bahwa dalam sistem internasional yang anarkis, aktor non-negara seperti Gereja Katolik dapat memainkan peran normatif signifikan melalui diplomasi nilai.
Hal ini sesuai dengan kerangka teori konstruktivisme, yang menekankan pentingnya identitas, norma, dan nilai dalam membentuk dinamika internasional (Wendt, 1999).
Warisan yang Tak Padam
Kematian Paus Fransiskus meninggalkan vacuum spiritual dalam perjuangan melawan ketidakadilan.