Pemimpin spiritual Gereja Katolik yang ke-266 ini bukan hanya seorang imam, tetapi seorang negarawan moral, pemikir publik, dan simbol global perjuangan kemanusiaan yang tak gentar menyuarakan keadilan, bahkan ketika harus menantang kekuatan-kekuatan duniawi yang dianggap tak tersentuh.
Dalam dekade terakhir hidupnya, Paus Fransiskus menjelma sebagai suara moral dunia yang tidak takut menyentuh luka geopolitik.
Salah satu sikap paling kontroversial--namun penuh integritas--adalah penolakannya terhadap pendudukan Israel atas Palestina.
Ia secara terbuka mengecam tindakan militer yang merampas nyawa anak-anak Gaza, pemblokadean ekonomi, serta kolonisasi Tepi Barat yang sistematis.
Dalam salah satu homilinya, ia mengutip Kitab Yesaya: "Bangsa yang tidak mencintai keadilan akan binasa oleh pedangnya sendiri."
Pernyataan itu menohok para elite dunia yang bungkam atau berpihak demi kepentingan politik semata.
Paus Fransiskus tidak sekadar berbicara. Ia secara simbolik mencium tanah Palestina saat berkunjung ke Betlehem pada 2014, menolak dikawal oleh tentara Israel saat menyeberangi Tembok Pemisah, dan membuka jalur diplomatik Vatikan untuk mengakui kedaulatan Negara Palestina.
Tindakannya menggemakan teori aksi komunikatif dari Jurgen Habermas, bahwa kekuasaan sejati lahir bukan dari dominasi koersif, tetapi dari rasionalitas komunikatif yang memuliakan martabat manusia.
Analisis Teoretik: Moralitas Kantian dan Akar Konflik
Dalam perspektif teori moral Immanuel Kant, tindakan Israel di Gaza dianggap melampaui batas kewajiban moral--terutama ketika serangan membabi-buta mengorbankan warga sipil.
Kant menekankan bahwa moralitas harus didasarkan pada kewajiban universal, bukan hasil akhir.