Mohon tunggu...
Tino Rahardian
Tino Rahardian Mohon Tunggu... Peneliti Senior Swarna Dwipa Institute (SDI)

Sosialisme Indonesia. Secangkir kopi. Buku. Puncak gunung. "Jika takdir menghendakimu kalah, berikanlah dia perlawanan yang terbaik" [William McFee].

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Refleksi Ramadan 2025, Ujian Spiritual di Tengah Turbulensi Ekonomi dan Politik Indonesia

30 Maret 2025   22:53 Diperbarui: 30 Maret 2025   22:53 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pertumbuhan ekonomi Indonesia.(Foto: SHUTTERSTOCK/DAVID CARILLET via Kompas.com)

Sejatinya, Ramadan 2025 datang di tengah berbagai dinamika yang sedang melanda Indonesia, baik di aspek ekonomi dan politik.

Ramadan 2025, mungkin menjadi momen refleksi mendalam bagi seluruh umat Muslim Indonesia. Termasuk saya.

Di tengah dinamika ekonomi yang fluktuatif, ketegangan politik pascapemilu, dan reformasi hukum yang kontroversial, bulan suci ini menawarkan ruang untuk mengevaluasi nilai-nilai keadilan, kebersamaan, dan ketahanan spiritual.

Namun, dengan tantangan global dan domestik yang semakin kompleks, refleksi Ramadan kali ini harus melihat lebih jauh daripada hanya sekadar ibadah ritual.

Artikel ini menganalisis dua dimensi utama: ekonomi dan politik, serta kaitannya dengan esensi Ramadan.

Ekonomi: Ketahanan Nasional dan Solidaritas Umat

Perekonomian Indonesia menunjukkan ketahanan dengan pertumbuhan 5,05% di 2023 dan defisit fiskal yang menurun dari 6,1% menjadi 1,65%.

Namun, tekanan global seperti inflasi (diproyeksikan 4,4% pada 2025), apresiasi dolar AS, dan konflik geopolitik tetap menjadi ancaman.

Menurut penelitian dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Sosial (LPES) yang dipublikasikan pada 2023, meskipun Indonesia menunjukkan pertumbuhan ekonomi positif pasca-pandemi COVID-19, ketimpangan sosial dan ekonomi masih menjadi masalah yang menghambat kemajuan ekonomi yang inklusif.

Salah satu bentuk ketimpangan yang tampak jelas adalah distribusi kekayaan yang timpang, di mana sebagian besar kekayaan terkonsentrasi di tangan segelintir individu dan korporasi besar.

Hal ini mempengaruhi daya beli masyarakat, termasuk saat Ramadan, di mana konsumsi terhadap barang dan jasa meningkat.

Beruntunglah Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, menjadikan Ramadan sebagai momentum untuk meningkatkan solidaritas sosial, terutama melalui kegiatan berbagi.

Ramadan juga mengajarkan umat Islam untuk mengutamakan kesederhanaan dan berbagi dengan sesama.

Oleh karena itu, bulan suci ini menjadi momen untuk memperkuat ekonomi sosial melalui program-program seperti zakat, infak, dan sedekah.

Meskipun demikian, untuk benar-benar memberikan dampak yang signifikan, pemerintah harus memastikan distribusi kekayaan lebih merata dan memperhatikan kebijakan yang pro-rakyat.

Di sinilah prinsip zakat dan sedekah dalam Ramadan berperan strategis.

1. Distribusi Kekayaan: Zakat, sebagai instrumen redistribusi pendapatan, dapat mengurangi kesenjangan yang diperparah oleh kenaikan harga komoditas seperti CPO dan nikel. 

Data Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) 2024 menunjukkan potensi zakat mencapai Rp327 triliun, namun realisasinya hanya 10%. Optimalisasi zakat produktif dapat mendukung UMKM dan stabilisasi harga pangan selama Ramadan.

2. Ketahanan Pangan: Kenaikan permintaan selama Ramadan sering memicu inflasi bahan pokok. Kebijakan stabilisasi harga melalui Bulog dan insentif bagi petani perlu diperkuat, selaras dengan prinsip maqashid syariah dalam menjaga hajat hidup masyarakat.

Politik: Ujian Integritas di Tengah Transisi Kekuasaan

Pemilu 2024 meninggalkan warisan kompleks: fragmentasi koalisi, polarisasi elit, dan intervensi hukum melalui revisi UU TNI yang memicu protes nasional.

Ramadan, sebagai bulan pengendalian diri, mengingatkan pentingnya transparansi dan akuntabilitas.

Etika Kepemimpinan

Etika kepemimpinan di bawah pemerintahan Prabowo Subianto saat ini menghadapi tantangan signifikan, terutama terkait dengan tingginya tingkat korupsi dan penyelewengan kekuasaan.

Meskipun Prabowo telah menyatakan komitmennya untuk memberantas korupsi, situasi di lapangan menunjukkan bahwa praktik-praktik korupsi masih merajalela, menciptakan skeptisisme di kalangan masyarakat.

Prabowo dalam pidato-pidatonya menekankan pentingnya pejabat publik sebagai contoh moral yang baik.

Ia menyatakan bahwa pemimpin harus mampu memberi teladan dalam menjalankan pemerintahan yang bersih dan transparan.

Namun, kritik terhadap kepemimpinan Prabowo muncul ketika sejumlah kasus korupsi terungkap, termasuk penyalahgunaan kekuasaan oleh beberapa menteri dan pejabat tinggi di bawah pemerintahannya.

Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada niat baik, implementasi dari etika kepemimpinan yang diharapkan masih jauh dari harapan.

Tingkat korupsi di Indonesia memang mengkhawatirkan. Dalam sebuah forum internasional, Prabowo mengakui bahwa korupsi adalah akar dari berbagai kemunduran di sektor-sektor penting seperti pendidikan dan Kesehatan.

Ia berkomitmen untuk menggunakan seluruh wewenangnya untuk memberantas korupsi, tetapi banyak pihak meragukan efektivitas langkah-langkah yang diambilnya.

Dalam catatan 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran, terdapat laporan mengenai 61 kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi, menunjukkan bahwa masalah ini tidak hanya bersifat individual tetapi juga sistemik.

Penyalahgunaan kekuasaan juga terlihat dalam beberapa insiden yang melibatkan anggota kabinet.

Misalnya, tindakan Menteri Desa yang diduga membantu kemenangan istrinya dalam pemilihan bupati dengan mengarahkan kepala desa untuk memberikan dukungan.

Kasus-kasus seperti ini menciptakan persepsi bahwa etika kepemimpinan tidak diterapkan secara konsisten dan dapat merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah.

Dalam konteks ini, etika kepemimpinan Prabowo harus mampu menjawab tantangan tersebut dengan langkah-langkah konkret dan transparan.

Penutup

Ramadan 2025 bukan hanya ujian spiritual individu, tetapi juga cermin kolektif atas konsistensi Indonesia dalam menerapkan nilai-nilai Ilahiah di tengah turbulensi duniawi.

Ramadan 2025 seharusnya menjadi momen untuk introspeksi dan perbaikan diri, tidak hanya dalam aspek pribadi tetapi juga dalam konteks sosial yang lebih luas.

Menghadapi tantangan ekonomi dan politik yang semakin kompleks, masyarakat Indonesia diharapkan dapat memaknai Ramadan tidak hanya sebagai ritual agama semata, tetapi sebagai ajang untuk membangun kesadaran kolektif.

Melalui kebijakan yang adil, pemerintahan yang transparan, serta kesadaran untuk berbagi dan menegakkan keadilan, Indonesia dapat melalui bulan suci ini dengan lebih bermakna.

Referensi:

1. Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS). (2024). Laporan Realisasi Zakat Nasional 2024.

2. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Sosial (LPES). (2023). Ketimpangan Ekonomi di Indonesia: Tantangan dan Solusi. Jakarta: LPES.

3. Journal of Indonesian Political Studies. (2023). Politisasi Agama dalam Pemilu: Perspektif Sosial dan Politik. Vol. 15, No. 2, hal. 45-60.

4. Indonesian Law Journal. (2023). Kesenjangan Akses terhadap Hukum di Indonesia: Implikasi Sosial dan Ekonomi. Vol. 12, No. 1, hal. 35-50.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun