Hal ini mempengaruhi daya beli masyarakat, termasuk saat Ramadan, di mana konsumsi terhadap barang dan jasa meningkat.
Beruntunglah Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, menjadikan Ramadan sebagai momentum untuk meningkatkan solidaritas sosial, terutama melalui kegiatan berbagi.
Ramadan juga mengajarkan umat Islam untuk mengutamakan kesederhanaan dan berbagi dengan sesama.
Oleh karena itu, bulan suci ini menjadi momen untuk memperkuat ekonomi sosial melalui program-program seperti zakat, infak, dan sedekah.
Meskipun demikian, untuk benar-benar memberikan dampak yang signifikan, pemerintah harus memastikan distribusi kekayaan lebih merata dan memperhatikan kebijakan yang pro-rakyat.
Di sinilah prinsip zakat dan sedekah dalam Ramadan berperan strategis.
1. Distribusi Kekayaan: Zakat, sebagai instrumen redistribusi pendapatan, dapat mengurangi kesenjangan yang diperparah oleh kenaikan harga komoditas seperti CPO dan nikel.Â
Data Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) 2024 menunjukkan potensi zakat mencapai Rp327 triliun, namun realisasinya hanya 10%. Optimalisasi zakat produktif dapat mendukung UMKM dan stabilisasi harga pangan selama Ramadan.
2. Ketahanan Pangan: Kenaikan permintaan selama Ramadan sering memicu inflasi bahan pokok. Kebijakan stabilisasi harga melalui Bulog dan insentif bagi petani perlu diperkuat, selaras dengan prinsip maqashid syariah dalam menjaga hajat hidup masyarakat.
Politik: Ujian Integritas di Tengah Transisi Kekuasaan
Pemilu 2024 meninggalkan warisan kompleks: fragmentasi koalisi, polarisasi elit, dan intervensi hukum melalui revisi UU TNI yang memicu protes nasional.
Ramadan, sebagai bulan pengendalian diri, mengingatkan pentingnya transparansi dan akuntabilitas.
Etika Kepemimpinan
Etika kepemimpinan di bawah pemerintahan Prabowo Subianto saat ini menghadapi tantangan signifikan, terutama terkait dengan tingginya tingkat korupsi dan penyelewengan kekuasaan.