Meskipun Prabowo telah menyatakan komitmennya untuk memberantas korupsi, situasi di lapangan menunjukkan bahwa praktik-praktik korupsi masih merajalela, menciptakan skeptisisme di kalangan masyarakat.
Prabowo dalam pidato-pidatonya menekankan pentingnya pejabat publik sebagai contoh moral yang baik.
Ia menyatakan bahwa pemimpin harus mampu memberi teladan dalam menjalankan pemerintahan yang bersih dan transparan.
Namun, kritik terhadap kepemimpinan Prabowo muncul ketika sejumlah kasus korupsi terungkap, termasuk penyalahgunaan kekuasaan oleh beberapa menteri dan pejabat tinggi di bawah pemerintahannya.
Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada niat baik, implementasi dari etika kepemimpinan yang diharapkan masih jauh dari harapan.
Tingkat korupsi di Indonesia memang mengkhawatirkan. Dalam sebuah forum internasional, Prabowo mengakui bahwa korupsi adalah akar dari berbagai kemunduran di sektor-sektor penting seperti pendidikan dan Kesehatan.
Ia berkomitmen untuk menggunakan seluruh wewenangnya untuk memberantas korupsi, tetapi banyak pihak meragukan efektivitas langkah-langkah yang diambilnya.
Dalam catatan 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran, terdapat laporan mengenai 61 kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi, menunjukkan bahwa masalah ini tidak hanya bersifat individual tetapi juga sistemik.
Penyalahgunaan kekuasaan juga terlihat dalam beberapa insiden yang melibatkan anggota kabinet.
Misalnya, tindakan Menteri Desa yang diduga membantu kemenangan istrinya dalam pemilihan bupati dengan mengarahkan kepala desa untuk memberikan dukungan.
Kasus-kasus seperti ini menciptakan persepsi bahwa etika kepemimpinan tidak diterapkan secara konsisten dan dapat merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah.