Mohon tunggu...
Rafito
Rafito Mohon Tunggu... Mahasiswa - -

-

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Urgensi Parliamentary Threshold dalam Menciptakan Stabilitas Politik Melalui Parlemen

10 Maret 2024   07:00 Diperbarui: 10 Maret 2024   07:13 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mahkamah Konstitusi (MK) kembali membuat keputusan yang cukup mengundang perhatian masyarakat. Masih terkait pemilu, kali ini keputusan yang diambil adalah mengenai pemilu legislatif, di mana MK memutuskan bahwa ambang batas parlemen (parliamentary threshold) adalah konstitusional pada Pemilu DPR 2024 dan konstitusional bersyarat untuk Pemilu DPR 2029 sepanjang dilakukan perubahan terhadap besaran ambang batas parlemen yang berlaku. Namun, hal tersebut bukan berarti parliamentary threshold dihapuskan, melainkan harus diubah besarannya sebelum Pemilu 2029.

Parliamentary threshold atau ambang batas parlemen adalah jumlah suara nasional yang harus diraih oleh suatu partai dalam pemilu (berdasarkan undang-undang yang berlaku) supaya partai tersebut dapat menduduki kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). 

Sebagai contoh, ambang batas yang ditetapkan saat ini sebesar 4%, artinya suatu partai harus meraih suara nasional minimal 4% supaya calon legislator (caleg) partai tersebut yang menjadi pemenang di suatu dapil (daerah pemilihan) dapat mengambil kursi dari dapil tersebut di DPR.

Keputusan MK yang mengharuskan besaran ambang batas diubah tersebut menuai berbagai reaksi dari berbagai partai politik, misalnya Partai Gelora yang gagal lolos ke Senayan ingin parliamentary threshold justru dihapuskan saja daripada diubah, lalu ada PPP yang ingin parliamentary threshold diturunkan menjadi 2,5%, sedangkan ada partai lain misalnya Partai Nasdem malah ingin parliamentary threshold dinaikkan menjadi 7%. Lantas, apa sebenarnya pengaruh besaran ambang batas tersebut bagi kehidupan politik Negara Indonesia?

Besaran ambang batas dari waktu ke waktu

Sistem parliamentary threshold di Indonesia pertama kali diterapkan pada pemilu 2009 di mana pada saat itu ambang batas yang diberlakukan adalah sebesar 2,5% suara nasional. Dari 38 partai politik yang mengikuti pemilu, hanya terdapat 9 partai yang memenuhi ambang batas tersebut dan sisanya terisisih.

Kemudian pada tahun 2014 terjadi perubahan ambang batas parlemen yang kini menjadi sebesar 3,5% suara nasional. Partai politik yang mendaftar pemilu ada 46 partai, tetapi yang lolos verifikasi hanya sebanyak 12 partai. Lalu, dari 12 partai tersebut, hanya 2 yang tersisih dan 10 partai lainnya sukses melenggang ke DPR.

Selanjutnya, pada tahun 2019 kembali terjadi perubahan besaran ambang batas parlemen. Berdasarkan Undang-undang No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, ambang batas parlemen adalah sebesar 4% suara nasional. Hasilnya, dari 16 partai politik yang mengikuti kontestasi pemilu, hanya 9 partai yang lolos ke sanayan sedangkan 7 lainnya tersisih.

Dan pada pemilu yang terbaru, yaitu pemilu 2024 tidak ada perubahan mengenai besaran ambang batas, sehingga ambang batas parlemen tetap sebesar 4% suara nasional dan berdasarkan perkiraan sementara (red: saat artikel ini ditulis belum ada sidang penetapan pemenang pemilu oleh KPU) ada delapan partai politik yang berhasil mengantarkan calonnya ke DPR, yaitu PDIP, Partai Golkar, Partai Gerindra, PKB, Partai Nasdem, PKS, Partai Demokrat, dan PAN.

Dapat dilihat bahwa parliamentary threshold menciptakan tejadinya seleksi partai politik di mana banyak partai yang dapat mengikuti pemiilihan umum, tetapi hanya sebagian yang dapat menduduki kursi DPR. 

Partai-partai kecil otomatis tersisih dari parlemen, sehingga peran legislatif hanya dijalankan oleh partai-partai yang lolos parliamentary threshold. Tentu, hal tersebut dapat memengaruhi dinamika yang terjadi di parlemen karena fraksi-fraksi yang ada di parlemen pun ditentukan berdasarkan parliamentary threshold tersebut.

Mengapa parliamentary threshold diperlukan di parlemen?

Partai politik adalah salah satu kendaraan untuk mewujudkan kepentingan ide-ide dan aspirasi warga negara di mana setiap partai politik memiliki caranya masing-masing untuk mewujudkan tujuannya. Semakin beragam partai politik, maka semakin beragam tujuan-tujuan yang ada.

Beragamnya cara dan tujuan tersebut dapat menyebabkan banyaknya “gesekan” antar partai politik untuk memperjuangkan kepentingannya. Sehingga penyisihan tersebut bukan tanpa alasan, parliamentary threshold dibuat untuk menyederhanakan sistem kepartaian yang ada di Indonesia

Apabila dikaitkan dengan peran legislatif yang harus mengontrol eksekutif, maka dengan semakin banyaknya gesekan yang terdapat di dalam legislatif akan menyebabkan kinerja eksekutif menjadi terhambat. Hal ini akan memengaruhi stabilitas politik di Indonesia karena banyak kebijakan yang tidak bisa dilakukan oleh eksekutif. Maka dari itu, lembaga eksekutif memerlukan dukungan dari lembaga legislatif yang stabil untuk menjalankan program-program kerjanya.

Dukungan itu dapat diartikan eksekutif memiliki mayoritas dukungan (>50%) atau hampir mayoritas dukungan (mendekati 50%) kepadanya. Apabila seorang presiden tidak memiliki dukungan yang banyak dari parlemen, maka sulit bagi presiden tersebut untuk menjalankan programnya yang mengakibatkan tidak stabilnya sistem presidensialisme yang berjalan atau bahkan berujung pada kegagalan pemerintahan. 

Selain itu, pemerintahan pun tidak berjalan efektif karena harus meluangkan banyak waktu untuk bernegosiasi dengan parlemen sebelum menjalankan pemerintahannya.

Tanpa adanya parliamentary threshold, maka semakin banyak partai yang masuk ke parlemen dan peluang bagi suatu partai untuk menjadi mayoritas di parlemen semakin kecil. Suara akan terpecah ke banyak kelompok tetapi dengan sedikit orang di dalamnya yang mengakibatkan hal-hal di atas dapat terjadi. 

Maka dari itu, parliamentary threshold berfungsi supaya kelompok di parlemen menjadi lebih sedikit tetapi dengan banyak orang di dalamnya, sehingga presiden memiliki peluang besar untuk mendapatkan dukungan dari parlemen, tetapi juga tetap mendapatkan pengawasan yang berimbang dari partai-partai di luar koalisi presiden yang juga masuk ke parlemen, sehingga demokrasi tetap berjalan sebagaimana mestinya. Namun, jika dilihat dari sisi lain, di samping menjaga kestabilan pemerintah, parliamentary threshold menyebabkan ada sebagian suara yang terbuang sia-sia.

Suara untuk partai kecil terbuang sia-sia

Pemilu bertujuan untuk mengambil suara rakyat untuk menentukan siapa yang berhak menjabat. Di beberapa dapil, seseorang dipercaya oleh rakyat uktuk membela aspirasinya di parlemen sehingga ia menjadi pemenang di dapil tersebut. Namun, ia berujung tak bisa membela pemilihnya karena terhalang oleh ambang batas.

Hal di atas disebabkan suara partai berbeda dengan suara caleg, seberapa banyak pun suara yang diperoleh caleg di dapilnya, tetapi apabila partai caleg tersebut tidak memenuhi ambang batas secara nasional maka caleg tersebut tetap tidak bisa duduk di kursi parlemen. Maka dari itu, orang-orang yang dapat duduk di parlemen hanyalah orang-orang dengan perolehan suara terbanyak di dapilnya yang berasal dari partai yang memenuhi ambang batas parlemen tersebut. Ini berarti kaitan antara partai dengan calegnya sangatlah erat karena mereka saling bergantung satu sama lain.

Jika dilihat dalam skala nasional, ada 13,5 juta dari total 140 juta atau sekitar 9,6% pemilih yang memilih partai-partai yang tidak lolos parliamentary threshold pada pemilu 2019. Artinya ada 13,5 juta suara yang tidak digunakan atau terbuang dalam penentuan kursi di DPR. 

Di antara suara-suara yang terbuang tersebut, ada caleg yahg sebenarnya memenangkan pemilu di dapilnya masing-masing sehingga jika tidak ada parliamentary threshold maka caleg yang dipercayai mayoritas pemilih di dapilnya seharusnya bisa duduk di Senayan untuk membela pemilihnya. Parliamentary threshold lah yang membuat mereka terjegal dan suara pemilihnya sia-sia karena pada akhirnya, yang mewakili dapilnya bukanlah orang yang dipercaya mayoritas pemilih di dapil tersebut. Dengan demikian, muncul kembali sebuah pertanyaan, apakah parliamentary threshold berarti menghalangi kehendak rakyat?

Apakah parliamentary threshold bertentangan dengan konstitusi?

Jika kita membaca kembali Undang-Undang Dasar 1945 tepatnya pada pasal 28E ayat (3) disebutkan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat” sehingga muncul pertanyaan terkait apakah parliamentary threshold bertentangan dengan konstitusi?. Sebab, apabila orang yang dipilih oleh mayoritas pemilih di dapilnya gagal masuk ke Senayan karena partainya tidak lolos, maka aspirasi yang dibawa oleh orang tersebut tidak dapat diutarakan.

Parliamentary threshold tidak melarang warga negara untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarakan pendapat.  Dalam Undang-undang No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum semua warga negara memiliki hak yang sama untuk mendaftarkan partai politiknya ke KPU untuk mengikuti pemilu. Pasal 414 Undang-undang tersebut yang mengenai parliamentary threshold hanya mengatur kriteria partai yang dapat duduk di kursi parlemen sehingga parliamentary threshold tidak bertentangan dengan konstitusi.

Kesimpulan

Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa parliamentary threshold tidak melanggar konstitusi sehingga keberadaannya legal dan diperbolehkan. Parliamentary threshold sendiri memang memiliki kekurangan yaitu suara rakyat menjadi banyak yang sia-sia karena tidak dapat digunakan dalam perhitungan suara apabila partai caleg yang dipilih tidak melebihi 4%. 

Namun, demi berjalannya pemerintahan yang stabil dan efektif, rasanya parliamentary threshold harus tetap diterapkan di parlemen. Jika tidak, maka dikhawatirkan lembaga eksekutif sering menemui jalan buntu dalam pengambilan kebijakan yang justru malah berdampak buruk ke lebih banyak masnyarakat.

Selain itu, ambang batas parlemen yang sebesar 4% saat ini tidak memiliki dasar mengapa harus sebesar 4%. Maka dari  itu, penulis sepakat dengan MK bahwa besaran ambang batas tersebut harus diubah menggunakan metode dan argumentasi yang rasional supaya ambang batas yang ditetapkan memiliki alasan yang jelas mengapa harus sebesar itu. Namun tetap, ambang batas parlemen harus diterapkan pada pemilu legislatif.

Referensi:

Undang-undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 116/PUU-XXI/2023

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVIII/2020

Adelia, A. (2018). Relevansi Ambang Batas Parlemen (Parliamentary Threshold) dengan Sistem Presidensial di Indonesia. 256.

Mu’min, Muhammad Saeful Sanusi, S. (2020). Implikasi Ambang Batas Parliamentary Threshold Terhadap Kursi Parlemen. Hukum Responsif, 11(1), 12–23. https://doi.org/10.33603/responsif.v11i1.5020

Mubiina, F. A. (2020). Kedudukan Fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Pasca Reformasi. Jurnal Konstitusi, 17(2), 437. https://doi.org/10.31078/jk17210

Negara, K. S. (2017). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. 182.

Sompotan, H. B. (2021). Analisis Yuridis Tentang Ambang Batas Parlemen (Parliamentary Thereshold) Dalam Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Pasca Keluarnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum. Lex Administratum, IX(7), 180–188.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun