Dinamika kebangsaan tidak pernah terlepas dari persoalan sosial, ekonomi, dan politik. Hal itu juga yang menjadi penanda terhadap berakhirnya kekuasaan Jenderal Soeharto, dengan tuntutan reformasi nasional yang lebih luas untuk melepaskan persoalan kebangsaan dalam tangan militerisme.
Persoalan krusial yang menjadi pemicu besarnya gelombang penolakan kepemimpin Jenderal Soeharto adalah terjadinya krisis moneter yang tidak terselesaikan, bahkan berlarut hingga menurunkan nilai tukar rupiah terhadap dolar hanya dalam beberapa bulan pada tahun 1997, yakni dari 2.600 hingga 4.800 rupiah per dolar.
Peningkatan signifikan yang sangat tajam terjadi pada tahun 1998, dengan lonjakan hingga 16.800 rupiah per dolar. Hal ini menyebabkan naiknya harga-harga bahan pokok di tengah masyarakat dan menurunnya daya beli masyarakat, sekaligus meningkatnya jumlah pengangguran dengan menyentuh angka 20 juta lebih. Â
Atas persoalan tersebut, gelombang aksi menyebar dan membesar di berbagai wilayah di Indonesia, mulai dari aksi April Makassar Berdarah (AMARAH) di Universitas Muslim Indonesia (UMI) Kota Makassar pada 24 April 1996 dengan tuntutan penurunan tarif angkutan umum hingga menelan korban jiwa sebanyak 3 orang mahasiswa dan ratusan lainnya luka-luka oleh ulah brutal militer yang merangsek masuk dalam kampus. Puncaknya aksi Reformasi Mei 1998 dengan menduduki Gedung DPR/MPR RI di Senayan, yang menumbangkan rezim Orde Baru dengan berbagai tuntutan fundamental, diantaranya menghapuskan dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) khususnya fungsi sipil, otonomi daerah seluas-luasnya, berantas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, amandemen Undang-Undang Dasar, dan tegakkan supremasi hukum.
Aspirasi reformasi ini mesti kita refleksi untuk meninjau arah penyelesaian persoalan kebangsaan. Termasuk juga persoalan dwifungsi ABRI atau pendudukan jabatan sipil oleh militer, yang merupakan masalah besar sebab mencederai nilai-nilai kerakyatan. Â Fungsi atau jabatan sipil yang dijalankan oleh militer akan mendatangkan kebijakan atau keputusan-keputusan bernuansa otoriter sebab kecenderungan militerisme tidak dapat terlepas dari sifat bawaannya. Aris Santoso dalam bukunya berjudul Merekam Derap Sepatu Lars, menerangkan bahwa warisan penting Jenderal Soeharto adalah membangun supremasi militer dalam lanskap politik di Indonesia sepanjang masa kekuasaannya. Hal itu juga yang berdampak terhadap metode atau pendekatan penyelesaian persoalan-persoalan dalam nuansa reformasi yang menghasilkan pelanggaran atau kejahatan Hak Asasi Manusia saat masa-masa krisis reformasi. Penghilangan paksa aktivis 98 menjadi luka sejarah yang tidak kunjung sembuh, dan dalang atau aktor utama atas tragedi tersebut tidak juga dibongkar kepada publik. Aksi Kamisan yang diadakan tiap hari kamis di depan istana kepresidenan dengan menggunakan atribut serba hitam, tidak pernah mendapat jawaban yang memuaskan kendati membawa tuntutan pertanggung jawaban pemerintah untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran atau kejahatan Hak Asasi Manusia, utamanya terhadap tragedi kelam 98.
Kecenderungan represif bukan hanya pada penanganan persoalan langsung di lapangan, namun juga bisa berupa kekuasaan dalam fungsi atau jabatan sipil (dwufungsi). Ada banyak jabatan sipil yang diduduki oleh militer (aktif), beberapa diantaranya ialah Sekretaris Kabinet yang diduduki oleh Letkol Teddy Indra Wijaya, kendati saat beliau dilantik, Sekretaris Kabinet berada di bawah Kementrian Sekretariat Negara, kemudian berikutnya Sekretaris Kabinet dimasukkan ke dalam naungan Sekretaris Militer Presiden sebagai legitimasi untuk dapat dijabat oleh militer. Selain itu, Badan Penyelenggara Haji (BPH) juga diisi oleh militer, yakni Laksamana Pertama TNI Ian Heriyawan. Jabatan sipil lain yang diduduki oleh militer yakni Direktur Utama Badan Urusan Logistik, diisi oleh Mayjen Ahmad Rizal Ramdani. Masih ada lagi lainnya, namun ini saja sudah cukup untuk menilai bahwa dwifungsi ABRI telah dihapuskan, namun perluasan jabatan sipil terhadap militer masih tetap terjadi. Hal ini mesti  diperhatikan secara seksama guna menghindari terjatuhnya kita di lubang otoriter yang sama. Jika persoalan ini belum terselesaikan dengan baik, marwah reformasi belum bisa konsisten hidup di tengah dinamika kebangsaan.
Pengisian jabatan atau fungsi sipil oleh non sipil, maupun cara-cara ABRI menghadapi persoalan gejolak aspirasi saat reformasi, hampir identik dengan pendekatan aparat yang cenderung bersikap represif atau bernuansa kekerasan dalam menghadapi panasnya atmosfer aksi demonstrasi dari masyarakat. Pola kesamaannya adalah kecenderungan penindakan bersifat otoritarianisme terhadap masyarakat atau publik umumnya. Belakangan, isu kenaikan tunjangan DPR RI dan isu krusial lainnya sangat memanas hingga aspirasi atas penolakan tersebut menelan 10 korban jiwa di berbagai wilayah di Indonesia sejak tanggal 28 Agustus sampai 1 September 2025. Mulanya saat aksi di Jakarta Pusat, seorang pengendara ojek online meninggal terlindas oleh kendaraan taktis Brimob. Berlanjut di Makassar, aksi diwarnai dengan pembakaran Gedung DPRD Kota Makassar dan DPRD Provinsi Sulawesi Selatan menelan 4 korban jiwa. Tukang becak di Solo juga menjadi korban karena terpapar tembakan gas air mata oleh aparat. Ada mahasiswa di Semarang dan Jogja yang dipukuli hingga tewas oleh para aparat kepolisian, juga ada palajar dari Tangerang, dan imbas aksi di Monokwari juga menelan korban.
Hal ini menjadi alarm tanda bahaya akan permasalahan yang lebih dalam dan berkepanjangan. Marwah reformasi belum hidup sepenuhnya, sebab pembenahan aparat (TNI maupun Kepolisian) yang bernilai humanis belum tercapai dengan baik. Kekurangan nilai kemanusiaan yang mengarah pada dehumanisasi atau penindasan terhadap kemanusiaan, secara otomatis akan mengarah pada nilai yang bertentangan dengan hak asasi manusia. Heiner Bielefeldt dalam buku berjudul HAM dan Syariat berpendapat bahwa hak asasi manusia berkontribusi dalam memperkuat prakondisi bagi kedamaian masyarakat berkelanjutan, dan perdamaian sejati membutuhkan lebih dari sekedar penegakan ketertiban umum.
Marwah reformasi yang mengangkat martabat kemanusiaan dengan mendamba kedamaian masyarakat berkelanjutan, sedang diuji dengan tantangan-tantangan potensi militerisme dan represif yang makin masif oleh aparat. Segala potensi yang mengarah pada pengurangan martabat kemanusiaan mesti ditolak dengan tegas. Sedangkan kedamaian masyarakat mesti dipertahankan, sebab merupakan landasan penting untuk mereformasi kondisi sosial, ekonomi, dan politik. Ada ungkapan sederhana yang dapat menerangkan kondisi reformasi saat ini: hidup sangat segan, mati tak mau.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI