Mohon tunggu...
Radhiya Tara
Radhiya Tara Mohon Tunggu... Lainnya - Hiraeth

Allah knows what is best, just believe it.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Seperti Apakah Sabar?

29 Mei 2021   10:53 Diperbarui: 29 Mei 2021   11:08 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sabar itu.. sebenarnya seperti apa? Seluas samudera, sabar tiada batas. Jujur saja, terkadang aku tidak mengerti kalimat itu.

Ini, tentang dia yang masih bertanya-tanya arti sebenarnya dari sebuah kesabaran. Ini, tentang mereka yang sama-sama masih belum memahami seperti apa sejatinya kesabaran. Dan ini, adalah tentang kesabaran yang diawali dari sebuah penerimaan, keikhlasan. 

–

"Sabar itu.. seperti apa?" Tanya lelaki itu.

Sambil masih menggenggam novel di tanganku, aku menatapnya heran. Nada bicaranya barusan terdengar datar. Siapa yang bisa bertanya pertanyaan dengan intonasi yang cukup (menyedihkan) seperti ini tanpa ekspresi? Baik, bukan itu yang jadi pertanyaan di benakku sekarang. Tetapi, ini adalah pertanyaan langka yang keluar dari mulut seorang lelaki "cuek" sekelas dia.

"...apa? Sabar?" Aku berusaha memastikan.

Dia menghela napas, "Iya, sabar. Seperti apakah?"

Aku terdiam sejenak, menatap sebuah buku novel dalam genggaman tanganku. Sejujurnya, aku juga tidak tahu harus menjawab apa. Terlebih kepada seorang lelaki seperti dia, seseorang yang selama ini bahkan tidak pernah memulai pembicaraan duluan, apalagi untuk sekedar bertanya seperti ini.

"Apakah.. harus seperti sabar milik Nabi Nuh yang tidak pernah kenal lelah berdakwah kepada kaumnya? Apakah harus sesabar Nabi Ayyub, yang ketika ditimpakan begitu banyak ujian dari Allah? Apakah harus sebesar sabar Nabi Zakariya, ketika sebelum Allah mengabulkan doanya, yang bahkan diusianya yang sudah termasuk tua belum juga dikaruniai anak? Ataukah harus memiliki sabar seperti Rasulullah, yang ketika Ayah, Ibu, dan Kakek tersayangnya meninggalkannya untuk selama-lamanya, yang ketika ditinggalkan istrinya Bunda Khadijah, yang ketika cacian dan makian dilemparkan kepadanya, yang ketika menghadapi segala ujian dalam perjalanannya berdakwah? Harus seperti apakah?" Tanyanya parau.

Sedetik, aku bergeming.  Sungguh, aku bahkan tidak pernah membayangkan sabar seperti dia membayangkannya.

Lagi-lagi, dia menghela napas, "Seluas samudera, sabar tanpa batas. Jujur saja, aku tidak mengerti kalimat itu."

Aku terdiam, untuk akhirnya setelah sekian lama hening, aku kembali membuka novel di tanganku, melanjutkan membaca tanpa peduli dia yang berdiri di depanku.

"Hei." Ucapnya kesal.

Jelas sekali dia kesal. Sudah begitu banyak kata yang keluar dari mulutnya tadi, sudah berparagraf kalimat yang diucapkannya. Tetapi aku, orang yang sedang dia tanyai, justru mengabaikannya.

Lelaki itu mendengus sebal sambil bergumam, "Harus seperti apakah.."

"Aku.. tidak tahu," Jawabku spontan sambil tetap menatap novel di tanganku.

Meskipun tidak menatapnya, aku bisa merasakan bahwa sekarang dia sedang menatap tajam ke arahku. Eh, jangan salah sangka. Dia tidak marah kepadaku, karena memang seperti itulah ekspresinya.

"Kamu tahu." Bantahnya.

"Aku tidak tahu," Bantahku lagi.

Dia memijat dahinya sambil menghela napas, "Hah.. kamu tahu, aku tahu itu."

Klap! Aku menutup novel di tanganku. Lalu kemudian bangkit dari dudukku yang sebenarnya sudah cukup nyaman untuk membaca buku. Hanya saja, kedatangannya yang membuatku justru tak fokus membaca.

"Ah.. kamu juga tahu kan, kalau aku sudah bilang tidak tahu?" Ujarku sebal.

Dia terdiam. Hanya menatapku datar.

"Oke. Sudah paham, kan? Aku juga manusia biasa yang bisa tidak tahu. Untuk pertanyaanmu tadi, itu pertama kalinya aku mendengarnya. Dan, aku memang tidak tahu jawabannya." Aku tersenyum tipis.

Dia masih terdiam. Tetap menatapku datar.

Kring! Sebuah pesan masuk melalui ponselku. Aku meraihnya sebentar dari saku, membacanya cepat, kemudian kembali menatap lelaki dihadapanku,

"Eh, sepertinya aku harus cepat pulang. Aku duluan, ya." Pamitku.

Sebelum aku berbalik melangkah pergi, dia berkata pelan, "Sungguhkah.. tidak tahu?"

Entahlah. Tapi langkahku sempurna terhenti. Apa aku sungguh tidak tahu? Tanyaku pada diriku sendiri. Sungguhkah aku tidak tahu?

Dia masih berdiri dihadapanku. Seolah menungguku menjawab pertanyaannya.

Tapi, aku sungguh tidak tahu. Bagaimanalah ini?

"Ya, aku sungguh tidak tahu.

"Aku tidak tahu tatapan apa itu, tapi sepertinya dia kecewa. Sebab, terlihat jelas di wajahnya, sebuah keputusasaan.

Dia mengangguk pelan, "Ya sudah. Maaf sudah mengganggu waktumu membaca buku. Terimakasih karena bersedia mendengarkan pertanyaanku."

Sedetik kemudian, dia melangkah pergi.

"Aku memang sungguh tidak tahu, aku tidak berbohong soal itu." Aku berkata sambil menatap punggungnya. "Bagaimanalah aku bisa tahu, lagi pula, bukankah itu masalahmu? Dan hanya kamu yang tahu seperti apa masalah itu. Seberat apakah? Sebanding dengan apakah?"

Langkahnya terhenti.

"Sejujurnya, aku juga sama sepertimu. Masih suka bertanya-tanya, seperti apakah sabar itu. Tapi, aku rasa, teruntuk pertanyaanmu barusan, mengenai harus seperti apakah sabar itu, bukankah sejatinya hanya kamu yang benar-benar memahami? Bukankah sebenarnya, jika kamu bertanya harus sebesar apa, harus seluas apa, harus sesabar apa, itu hanya Allah yang tahu? Kupastikan lagi, kamu pasti tidak tahu, sampai kapan Allah akan menyudahi segala ujian ini, kan?"

Hening. Dia tetap terdiam. Tapi aku yakin, dia sedang mendengarkan apa yang aku katakan.

"Jadi, jangan tanyakan padaku. Tapi, tanyakan pada-Nya. Allah maha mengetahui segala sesuatu. Dan soal sabar, percayalah bahwa sabar adalah sesuatu yang akan selalu lekat bersama waktu. Tingkat kesabaran pada setiap permasalahan itu bisa saja berbeda, kan? Oleh karena itu, kuncinya hanya satu, penerimaan. Ikhlas, ikhlas pada setiap takdir dan ketentuan-Nya. Ikhlas, tanpa berandai kepada apa yang sudah terjadi. Ikhlas serta penerimaan yang menjadi pelapangan terbaik. Sebab, jikalau hatimu sudah ikhlas, tidak ada lagi sabar yang memberatkan. Sebab, jikalau hatimu sudah ikhlas, kamu tidak akan bertanya harus seperti apa sabar itu. Kamu cukup bersabar dan bersabar, karena kamu yakin, karena kamu percaya, bahwa yang terjadi itu adalah yang terbaik dari-Nya."

Aku masih berdiri dibelakangnya, dan sepertinya dia akan terus seperti ini, diam membeku di tempat tanpa menjawab kalimatku.

"Iya, aku sungguh tidak tahu, harus seperti apakah sabar yang dimaksud. Tapi setidaknya, aku mengerti, bagaimana beratnya sebuah kesabaran jika kita tidak berlapang hati. Percayalah pada-Nya, jadikan ikhlas dan penerimaan sebagai pelapangan terbaik untukmu." Aku menatapnya, walau dia tak berbalik badan sedari tadi. 

Sesekali, aku melirik jam tanganku. Aku harus buru-buru. "Ya sudah, sepertinya aku harus buru-buru. Apapun masalahmu itu, semoga Allah berikan yang terbaik. Dan untuk sabarmu, semoga Allah berikan yang terbaik pula. Aku pamit dulu, ya."

Lima detik. Aku berdiri menunggunya berbalik lima detik. Tapi ia tak kunjung berbalik.

"Assalamu'alaikum." Ucapku sambil melangkah.

"Ah.. terima kasih." Dia berseru dari tempatnya berdiri. "Sungguh, terima kasih banyak."

Sejenak, kutatap wajahnya. Entahlah, dia seperti sedang menghapus air mata. Dia menangis? Mungkin, aku tidak tahu pastinya.

"Sama-sama." Aku tersenyum, kemudian berbalik melangkah pergi.

Dia menatap punggungku. Juga tersenyum, senyum untuk pertama kalinya. Karena selama ini, aku memang belum pernah melihatnya tersenyum.

–

Sebuah kesabaran, yang berawal dari penerimaan serta keikhlasan, juga keyakinan dan percaya, bahwa yang terjadi adalah yang terbaik dari-Nya.

Radhiya Tara

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun