Yesus tak mewariskan harta, tapi kehadiran yang menyertai sampai akhir.
Malam Kamis Putih di Sadang membuka makna terdalam warisan iman.Â
Malam itu dingin, sunyi, dan terasa sangat istimewa.
Saya dan anak kedua saya memutuskan untuk mengambil waktu secara khusus, menepi dari hiruk-pikuk keseharian, dan mengikuti Misa Kamis Putih di Kapel Santa Perawan Maria Ratu Rosario, Sadang, sebuah tempat mungil nan sakral yang tersembunyi di lereng perbukitan Paroki Bedono. Jalanan desa yang berkelok menyambut kami dengan kerlap lampu redup dan aroma tanah basah khas pegunungan setelah hujan sore.
Sesampainya di kapel, suasananya begitu berbeda. Umat hadir berpakaian serba putih. Tak ada kemegahan, namun justru dalam kesederhanaannya, kapel ini seperti memeluk siapa pun yang masuk dengan kehangatan dan cinta. Angin malam yang dingin menyelusup, namun hati kami hangat. Ada yang berbeda malam itu dan kami tahu, ini bukan malam biasa.
Malam ini adalah malam warisan. Malam ketika Yesus memberikan warisan paling suci: diri-Nya sendiri.
Warisan Makan dan Minum: "Inilah Tubuh-Ku, Inilah Darah-Ku"
Dalam homilinya yang kalem, Romo Pitoyo SY, dengan gaya khasnya yang penuh kelembutan namun tidak kehilangan kejenakaan, membuka makna terdalam dari perjamuan malam terakhir.
"Kalau kita bicara warisan, orang biasanya mewariskan rumah, sawah, atau uang," katanya sambil tersenyum. "Tapi Yesus... Ia tidak mewariskan harta duniawi. Ia justru mewariskan diri-Nya sendiri---dalam roti dan anggur."
Saya tercekat.
Ya. Dalam malam yang hening, Yesus mengucapkan kata-kata yang menjadi dasar seluruh iman kita: